Tuesday, July 25, 2006

Offline Massage Pagi Ini 2

Sebaris puisi, aku temukan pagi ini dalam offline massage ku.... terperangah...ada kerinduan menggelegak padaku. harapan demi harapan yang aku usung, kemudian aku terbangkan bersama malam yang pengap. harapan yang datang meski hujan bukan lagi jadi kebutuhan.
someone (7/24/2006 7:51:56 PM): ketika sepi kesendirian/kutemukan bayngmu stiap sudut pandangku/keriduan ku kan /hadirmu/celotehmu/simakmu/pesonamu/ buat ku berani merindiu kembali/ akankah rindu ku ini sebaras angan ...
someone (7/24/2006 7:54:52 PM): bukan sarang untukmu/bukan pohon rindang tuk berteduh/terbaglah jiwa elangmu/ tetaplah bentangkan sayap wahai elangku/tetapku disin /kuyakin dekap sayapmu ada untuk ku
someone (7/25/2006 9:34:21 PM): sapaan mu siang ini/ sejuk dihati/ terperagah/ terdiam ku / bicaralah/bicarallh/ tak mau ku sela dengan jawaban/bicarah lah bicaralah/ byangmu dihadapku/kunikamati ini

Friday, July 21, 2006

Offline Massage Pagi Ini

someone (7/20/2006 8:11:29 PM): Malam ini, aku memandang keluar gedung. Hujan…………………………. Membuat ku urung tuk pulang. Hari ini, pagiku menyapa mu. Siang ini kucari hadirmu. Sore tadi ku baca pesanmu. Ingin ku ukir bersama mu kemarin dengan kata kata puitis, namun aku hanya terpaku dihadapan IM mu. Yang ada hanya bayangan wajahmu. Tak mampu ku menulis. Begitu banyak kah, atau terlalu sedikit kah? Akhirnya kuungkapan juga, apa yang ada dihati saat ini. Saat menuju pertemuan, begitu penat kujalani. Kupikir kan terlalu lama penantianmu. Kepenatan ku sedikit tak kurasa saat tertidur dalam bus kota itu. Ah, sampai juga di tempat kita berjanji. Kamu sudah duduk menunggu. Kehangatan jabatan tangan kita, kurasa. Kita berbasa basi. Kita tak makan seperti biasa. Dan kita memutuskan nonton. Kita ngobrol. Kehangatan kurasa di kaki ku saat berdekatan. Kahangatan cerita mu. Begitu dekat kah kita? Dihati ?

someone (7/20/2006 8:12:28 PM): Saat tiba tuk berdua, kuraih tanganmu. Kurasakan kehangatan genggaman jemarimu. Kurasakan kehangatan pundakmu tempat ku rebahkan kepalaku. Biar! Biarkan begitu! Biarkan begitu!! Kudengarkan celoteh mu. Ah, baru kali ini aku bertemu orang yang hapal semua nama peran segitu detilnya, dari buku yang dia baca. Ingin ku menciummu. Tapi malu ku menahan untuk itu. Namun ciuman itu, sampai juga di pipimu. Biarkan kurasankan kehangatan pundakmu. Kehangantan menggengam tanganmu. Kuraba, kuelus kelakianmu. Cukup! Cukup dengan hangat pundakmu. Cukup dengan hangat genggaman tanganmu. Kita masih punyua malu. Kita masih punya jengah. Kita masih orang beradab. Hangatmu membangkitkan gairahku. Cukup! Cukup hangat pundakmu. Cukukp gengam mu. Ingin ku bersembunyi dalam lenganmu. Ingin ku mebaui aroma ketiakmu. Ingin ku meraba kulitmu.

someone (7/20/2006 8:14:03 PM): Cukup lengan! Cukup pundakmu! Aku tau kamu mencuri pandang pada pasangan sebelah dalam remang kamar penuh kursi di bisokop itu. Aku tau kamu jengah. Aku bilang cukup ini. Cukup! Ini sudah cukup! Tak kusangka, kau sapa lembut bibirku dengan bibirmu. Kurasakan lagi kehangatan bibirmu. Kurasakan lagi basah bibirmu. Kurasakan lagi lembut bibirmu. Aah, Walau sekejap, kuraskan hingga pagi ini sapa bibirmu. Aku telah membuat mu terlalu nekat. Maaf! Maaf!! Saat kuiring tanganmu ke dekapanku, kurasakan hangat. Cukup! Cukup! Tak terasa waktu begitu cepat. Masih kuingin. Masih kuingin! Namun cukup. Harus cukup! Waktu begitu cepat. Kita harus kembali menjalani hidup berpisah. Namun, ku sempatkan memandang dirimu ketika mobil berlalu.

---------------
Sebuah balasan dari offline massage buat mu
---------------
aku (7/21/2006 8:14:03 AM): dan aku merasa beruntung memilikimu. meski sama-sama tak sendiri, aku tahu, tapi kita masih bisa bersatu.

Thursday, July 20, 2006

Sayang, Aku Ingin

ingin terbang
melepas sayap jauh ke awan
menjaring bintang-bintang timur
kemudian menjahitnya menjadi kalung

ingin di gunung
mencumbui pucuk-pucuk pinus
dan hempasan angin pagi yang mesra
kemudian lari lepas
menuju lapisan kawah kuning gading

ingin mendekap
membisikan namamu pada bias pelangi
yang kita petik dawainya

ingin teriak
memekikan kata pujian
untuk nama kita bedua

Thursday, July 13, 2006

Cerpen - Pulang, Sebuah Dilema

Aku memacu sepeda motorku melewati deretan rumah-rumah tak beraturan. Jalanan berdebu dengan latar gelap malam membungkus tiap celah yang tersisa. Hempasan roda sepeda motor menggilas jalan-jalan berlubang. Menghamburkan batu-batu kecil dan pasir-pasir yang berlompatan kesamping, seolah menjerit merasakan gilasan roda yang terus berputar. Udara dingin menyergap dari arah depan. Laju sepeda motor tak jua di pelankan. Padahal, tangan ini telah bergetar kedinginan.

Sudah hampir pukul sepuluh malam. Jalanan mulai sepi. Beberapa kendaraan masih lalu-lalang didepan komplek perumahan sederhana ini. Lampu-lampu jalan yang temaran, mengesankan damai. Meski jika siang hari, udara akan sangat terasa membakar disini.

Dulu, ketika pertama kali menginjakkan kaki disani, menempati rumah baruku, aku takjub. Betapa lingkungan ini begitu damainya. Asri. Tanpa ada sumber polusi yang bisa meracuni anak-anakku kelak, dan membakar paru-paruku. Pohon-pohon besar sepanjang jalan, mengesankan sebuah hutan kota yang teduh. Areal pesawahan lengkap dengan kerbau dan bajak masyarakat pribumi, yang selalu menyapaku dengan panggilan ramah, ketika aku yang setiap hari minggu meluangkan waktu untuk bersepeda disepanjang sisi sawah. Kadang menemani para petani ngobrol di saung yang terletak di tengah pematang, menikmati hembusan angin sore yang sejuk. Dan hamparan pohon padi yang baru tumbuh. Hijau dan damai.

Namun kini. Bahkan hal terburuk yang pernah singgah di kepalaku beberapa tahun yang lalu, ternyata lebih buruk. Areal persawahan yang sedang menguning itu di hancurkan. Ditimbun berkubik-kubik tanah merah yang diangkut truk-truk berbadan besar dengan galaknya. Seperti mengamuk. Menindih tiap sentimeter sawah-sawah yang ranum itu. Siang dan malam. Entah dari mana tanah-tanah merah itu didatangkan. Iring-iringan truk itu layaknya semut-semut yang lapar membawa makanan, bergerak lambat dan pasti. Deru mesin bercampur asap kenalpot berbaur dengan debu-debu jalan yang dihasilkan. Menggantikan degus nafas kerbau-kerbau yang membajak sawah dan lecutan cambuk sang petani. Hingga pada satu minggu kemudian, aku melihat bukan lagi hamparan kuning padi-padi dengan petani-petani nya yang tersenyum senang, berlarian mengejar gerombolan burung-burung pipit yang nakal, namun sebuah daratan tanah merah yang membentang luas, dengen beberapa mobil besar terdiam kokoh. Beberapa anak-anak kecil berlarian mengejar-ngejar bola dalam lapangan luas tak berbatas. Tandus, dan merah. Hingga kemudian, pada beberapa bulan berikutnya, hamparan petak-petak rumah bermunculan seperti jamur di musim hujan. Sementara pribumi-pribumi melihat nanar dari balik rumah mereka yang tergusur. Dan di sudut sana, sebuah lapangan golf sekarang sudah terbentang. Hijau dan luas. Meski jika tahu, dibawahnya, ada tumpukan peluh dan air mata para petani, yang sawahnya di gusur. Yang padinya ditimbun.

Sedangkan batang-batang kayu besar yang dulu adalah hutan kecil, tempat aku biasa duduk di bawah sebuah dahan patah, membaca buku-buku atau majalah ketika akhir pekan, kini berganti dengan rapatnya ruko-ruko yang sesak.

Tak ada lagi persawahan, tak ada lagi hutan kecil, kicau burung dan suara pecut.

Aku menghentikan laju sepeda motorku didepan sebuah kios yang masih terbuka. Seorang lelaki setengah baya menjulurkan kepalanya. Rupanya dia hampir tertidur, dan tersentak mendengar deru motor yang aku hentikan.

“ Pak, ada obat nyamuk?”
Kataku memulai perbincangan. Tanpa melepas helm yang aku kenakan. Sekilas, ada sedikit keraguan dalam tatapan mata pak tua itu. Aku kemudian membuka helm dan melebarkan senyum. Perubahan wajah terlihat sangat nyata. Bola mata pak tua itu membesar. Bergairah.

“ Obat nyamuk apa, Jang?” katanya dalam logat sunda yang cukup kental. Suaranya bening.
“ Obat nyamuk oles, Pak! Dua!” jawabku, seraya menunjuk serenceng obat nyamuk yang tergantung di sudut kios dorongnya. Tanggan keriputnya kemudian meraih deretan obat nyamuk itu dan mengguntingnya.
“ Banyak nyamuk di rumah, Jang?” tanya nya kemudian.
“ Iya, Pak. Nggak tahu nih, padahal rumah udah di beresin, tapi masih aja ada nyamuk beterbangan. Sampe gak bisa tidur,” jawabku.
Dia tersenyum, “ Yah. Namanya juga lagi ganti musim, Jang. Emang suka banyak nyamuk. Di tempat aki juga sama. Makanya, aki lebih enak disini. Nggak di ganggu nyamuk,”
“ Itulah. Padahal saya sudah semprot. Tapi tetap saja ada.”
“ Yang sabar ya, Sep! Gusti Allah, menciptakan setiap sesuatu itu pasti ada maksudnya,” lanjutnya kemudian.
“ Iya, pak,” kataku pelan. “ Bapak kok belum tutup? Sudah malam begini?” lanjutku.
“ Ah, bapak mah jam berapa aja tutupnya. Kadang malah sampai pagi, kalau malam minggu kayak sekarang,”
“ Ooo,”

Aku bahkan lupa, kalau ini malam minggu. Aku duduk di kursi kayu disamping gerobak pak tua itu. Memandang gelapnya langit tanpa bintang dengan siluet awan putih kecoklatan. Membiarkan hembusan angin malam membelai wajahku yang belum tersiram air dari sore tadi. Seraya memesan sebotol minuman ringan.

“ Tinggal nya dimana, jang?” pak tua itu membuka parcakapan. Tangan tuanya yang sudah mulai keriput menyodorkan botol yang tutupnya sudah dibuka.
“ Blok D nomor 14, pak!” jawabku singkat. Botol itu berpindah tangan, “ terima kasih,” lanjutku. Aku memasukan sedotan ungu dan menghirup air dalam botol itu pelan-pelan. Ada sejuk merajai dalam badan ku.

Uhhh...
Nafas panjang itu akhirnya terhembus juga. Menguap bersama malam. Nafas penyesalan yang entah adalah dosa atau kenikmatan. Ada mual tiba-tiba saja muncul diperutku. Setiap kali ingat peristiwa itu, perutku mual. Entah kenapa. Ada perasaan bersalah membatu dalam hati. Meski berkali-kali coba aku pecahkan, namun setiap kali, itu juga ia akan bertambah besar dan besar. Batu itu tumbuh menjadi benteng-benteng tak terhancurkan. Menjulang tinggi membatasi pandangan ku akan kesalehan dan ketaatan kepada tuhan. Membelenggu setiap urat sadar dan logika menjadi tidak bekerja. Menciptakan ruangan sendiri yang mempunyai serum untuk mematikan efek fikir sehingga semua nampak halal dan boleh untuk dilakukan. Mendogma hati, semuanya sah-sah saja. Toh, tak ada yang merasa rugi atau di rugikan. Bukankah keinginan itu hanya bisa tejadi jika ada dua orang yang merasa, bukan satu?

“ Ada apa, sep?”
Pak tua itu menyadarkan lamunanku. Membawa aku kembali kehari ini, setelah beberapa detik yang rasanya seperti sepuluh tahun.

“ Ah, tidak apa-apa, Pak, “ jawabku pelan. Mencoba menutupi semua hal dalam benakku. “ Oya, bapak tinggal dimana?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan. Biarlah aku yang muda ini terlihat sedikit tidak sopan, daripada aku harus bercerita tentang masalahku. Toh dia baru aku kenal. Tanpa sengaja. Biarlah hubungan ini hanya menjadi basa-basi seorang pembeli dengan seorang pedagang. Bukan teman. Bukan sahabat yang selalu mempunyai alasan untuk tahu masalah sahabat yang satunya.

Pak tua itu tidak serta merta menjawab pertanyaan ku. Dia tersenyum. Lembut dan hangat. Sorot mata tuanya tajam, seoalah menusuk relung hatiku. Membuka lebar-lebar segala masalah dan persoalan yang sedari tadi berusaha aku kurung rapat-rapat. Aku salah tingkah. Menghirup kembali sisa teh dalam botolku, kemudian membenarkan letak dudukku. Bukan untuk mencari nyaman, namun berusaha menghindari tatap matanya yang menyelidik dengan tajam.

Hanya oo panjang yang keluar dari mulutnya. Ia kemudian menarik kursi plastik kecil dan duduk di depanku. “ Kadang, masalah itu tidak harus dihadapi. Tapi dengan dihindaripun, akan bisa selesai. Menyelesaikan masalah itu, akan membuat orang lebih dewasa dalam menjalani hidup, lebih bijak. Namun meninggalkan masalahpun, bukan berarti pengecut. Pengecut itu, adalah jika kamu membuat masalah pada dirimu sendiri kemudian dilimpahkan ke orang lain, karena berniat mencelakan orang lain. Fitnah!”

Kata-katanya menyentak semua syaraf di tubuhku. Mengalirkan listrik bertegangan tinggi pada semua aliran darah hingga ke otak. Benarkah aku melarikan diri? Pengecut? Atau apalah namanya itu. Namun, sepertinya pak tua itu mengetahui dengan pasti semua yang ada di otakku.

“ Sa....” jawabku tertahan.
“ Sudah,” potongnya. Seperti tahu apa yang ada di benakku, “ Jangan diteruskan. Kamu tidak perlu bercerita. Hanya saja, gusti Allah tidak akan melimpahkan segala sesuatu, kecuali dengan sekemampuan hambanya. Pada setiap musibah itu, selalu ada pelajaran yang bisa diambil. Meski sedih, jangan sampai melupakan Tuhan. Karena dia tidak akan lupa dengan hambanya, meski satu detik saja. Tuhan itu melihat dan mendengar. Perbuatan salah yang dilakukan, melampiaskan kekecewaan pada kehidupan, hanya akan menambah beban semakin berat. Tidak akan menghilangkan persoalan itu sendiri. Dan dengan itu pula, ia akan membuka pintu hidayah..” lanjutnya.

Aku hanya diam. Berusaha merasapi semua kata-kata pak Tua itu dengan jernih. Merekam setiap ucapannya dalam pita kaset maha dahsyat pemberiah yang Maha Dahsyat. Tapi kamu tidak akan pernah mengerti pak tua. Apa yang aku hadapi tidak sama dengan keadaan biasa. Aku berbeda. Aku memilih kehidupan yang sangat berbeda. Menjadi diriku sendiri. Ucapan mu itu tak ada yang salah, hanya saja, tidak akan ada penyelesaian yang mudah untuk apa yang aku rasakan saat ini.

“ Pulanglah!” katanya kemudian, “ sudah malam, kamu pasti capek dan mengantuk. Jangan paksakan diri untuk tidak tidur. Dengan begitu, kamu menyiksa dirimu sendiri. Sepertinya, sudah dua malam lebih kamu belum tidur, “ terkanya. Dan benar. Sejak kejadian itu, aku memang tidak pernah tidur. Dua malam. Dan ini malam ketiga. Aku paksa mata ini untuk terus terjaga. Dengan semalaman masuk ke disko yang buka sampai pagi, atau pergi ke puncak menikmati udara malam, hingga subuh menjelang dan kemudian memacu motorku pulang. Karena dengan tidak tidur itu, aku bisa merasakan menjadi aku. Tanpa takut aku tidak bernafas lagi esok paginya, karena aku masih ingin menikmati kehidupan lebih lama. Aku menunggu kehadiran seseorang disana. Jauh diseberang samudra.

Seperti kerbau dicucuk hidung, aku menuruti setiap ucapan pak tua itu. Merasakan kasih seorang bapak mengalir lewat ucapan-ucapannya yang menenangkan. Ucapan yang tidak pernah aku dengar semenjak kepergian ayahku hampir dua puluh tahun yang lalu. Saat itu aku masih sangat muda. Umurku baru dua belas tahun. Mungkin karena inilah juga, aku menjadi seperti sekarang ini. Meninggalkan bekas nyata mencari sosok yang hampir dua puluh tahun meninggalkan aku. Yah, meninggalkan aku, ibuku dan adik serta kakakku. Mengalihkan tanggung jawab kepada kakak laki-laki yang paling tua, dan selebihnya aku sebagai anak tengah.

Seulas senyum melepas kepergianku. Aku memacu sepeda motor ku perlahan. Seperti mau menikmati malam ini seperti dua malam kemarin. Namun ada bayangan pak tua penjaga warung pinggir jalan itu yang lewat. Matanya tajam. Raut mukanya seperti sangat aku kenal. Raut muka seorang lelaki yang kini entah kemana. Namun aku yakin itu bukan dia.

Aku menengadah, memandang dua buah bintang yang muncul meramaikan malam ini. Seperti dua mata malaikat malam. Entah tersenyum atau marah. Mengerling kepadaku dalam pekatnya malam. Bintang itu masih sama seperti dulu. Ketika aku pertama kali datang kesini. Memutuskan untuk tinggal sendiri dipinggiran kota ini. Jauh dari hiruk pikuk lalu lintas jalanan yang bising dan berpolusi. Meskipun saat ini tidak bisa disamakan dengan hari kemarin.

Pilihan hidup sendiri, aku jalani dengan kesadaraan. Permohonan orang tuaku, ibuku, agar aku segera menikah aku anggap angin lalu. Aku hanya menimpali dengan seenaknya. Seperti siang tadi.

“ Kamu tuh udah besar Ar! Malu sama adikmu. Dia sudah punya anak satu. Sekarang istrinya sedang hamil anak kedua. Kamu kapan? Umurmu sudah nggak muda lagi. Sudah tigapuluh enam tahun. Sampai kapan kamu akan terus membujang?” Ibu melancarkan pertanyaan bertubi-tubi. Mengagetkan aku yang sedang santai sambil menonton berita siang itu di televisi. Di rumah ibuku.
“ Nantilah, bu. Aku masih mau berkarier dulu. Lagian aku juga mau membahagiakan ibu, sebagai orang tuaku satu-satunya. Biarlah Heru dan Kang Yadi yang menikah duluan. Kalo nanti Arya nikah, kasihan ibu, nggak ada yang urus,” kilahku.

“ Itu bukan alasan, Arya. Ibu sudah bahagia. Materi tidak akan pernah cukup. Materi itu seperti air laut, semakin diminum semakin kamu berasa haus. Tak ada batasan puas atas materi. Ibu lebih akan berbahagia jika kamu menikah. Membina rumah tangga kemudian menimang cucu dari istrimu,” lanjutnya.

Aku tahu betul ibuku. Keinginannya untuk segera menikahkan aku begitu menggebu. Apalagi, dari tiga bersaudara cuma aku yang belum mempunyai pendamping. Adikku yang dua tahun lebih muda, sudah punya satu anak berumur tiga tahun dan satu lagi dalam kandungan istrinya. Sedang kakakku, sudah punya tiga anak yang lucu-lucu. Dua perempuan dan satu laki-laki. Aku merebahkan badan pada sandaran kursi. Menekan nomor-nomor channel di romote control dengan sembarangan. Memindahkan channel demi channel. Bukan untuk mencari acara yang lebih bagus, namun berusaha untuk tidak menghiraukan omongan ibu yang kerap kali menyuruhku. Itu dan itu setiap saat. Setiap kali aku kerumah.

Sontak ibu meraih remote control dari tangan ku dan mematikan siaran televisi. Aku berusaha memprotes dengan sorotan mata dan dengus nafas. Namun nyatanya tidak pernah menang melawan tatapan bening mata ibuku.

“ Arya. Mungkin kamu merasa bosan karena ibu terus mencampuri urusan mu. Namun yakinlah, tak ada orang tua dimanapun yang tak mau anaknya tidak bahagia. Tugas orang tua itu, akan berakhir jika sudah menikahkan anaknya. Kewajiban itu kini makin berat ibu tanggung, karena umur ibu yang sudah tidak muda lagi, “ ucapnya liriih di sebelahku. Tangannya yang mulai keriput, mengusap bahuku. Halus. Kemudian menatapku. Teduh.

Lidahku kaku. Semuanya kalimat dalam kosa kata yang ada diotakku menguap, entah kemana. Terbang bersama kegelisahan yang menguasai diriku. Ah, kenpa aku selalu tidak bisa menjangkau kata-kata untuk menjelaskan kepada ibuku, bahwa aku ini,...

Oh, aku menutup mukaku. Mencoba menenangkan hatiku.

Dering telepon genggam membuyarkan lamunan ku tentang ibu. Bergegas aku melangkah menuju bufet kecil disudut ruangan tempat HP biasa aku taruh jika di dalam rumah. Ku perhatikan nomor yang mucul. Asing. Namun tak ayal, aku jawab juga panggilan itu.
“ Halo....”

Hingar bingar suara house music memekakan talingaku. Aku melangkah memasuki ruangan temaram dengan lampu-lampu kerlap-kelip di setiap sudut. Bau aroma farfum pengunjung bercampur dengan alkohol dan keringat, menjadikan ruangan ini seperti layaknya bangker berisi gas mematikan. Asap rokok yang membuat sesak memenuhi ruangan berlantai rendah itu dengan bebas. Sepasang muda-mudi sedang asik bercumbu didekat pintu masuk. Mereka melihat sekias kearahku kemudian kembali berciuman mesra. Aku melangkah terus kedalam. Menyibak orang-orang yang berjoget layaknya kesetanan mengikuti irama musik house yang menghentak-hentak. Menghabiskan malam, memenuhi hasrat hura-hura mengatasnamakan modern dan ekspresi jiwa anak muda. Perempuan-perempuan berbadan sital dan berpakaian minim nan seksi, menari nari bebas. Mengibaskan rambut mereka yang hitam dan berwarna-warna, sambil sesekali tertawa lepas. Bebas memilih pasangan mana untuk bergoyang. Meliuk-liukan badannya menciptakan sebuah nuansa erotis yang membius saraf para lelaki. Pria-pria mapan yang berbadan atletis dan berbaju rapi, berbaur dalam degup geliat kehidupan malam. Entah dari mana mereka mendapatkan uang untuk dihambur-hamburkan.

Aku duduk didepan bar. Sorang bartender menaruh gelas kecil dan menyapaku ramah. Aku tersenyum. “ Biasa,” kataku. Dia hanya mengangguk tanpa berkata kemudian menuangkan minuman dalam gelas didepanku. Aku mengangkat gelas kristal mungil dengan jeruk nipis yang di iris tipis di taruh pada sisi atasnya. Menenggak nya sedikit. Rasanya pahit dan keras.

Alunan musik tambah lama tambah menggebu. Semakin malam, semakin ramai pengunjung yang datang. Maklum ini malam minggu.

Seseorang mendekati aku. Melebarkan senyumnya dan membentangkan tangannya. Aku berdiri. Menunggu dia sampai dihadapanku.

“ Sorry, I’m late,” katanya ditengah dentuman musik keras. Samar. Meski suaranya sudah dibuat sebisa mungkin terdengar.
“ What?” jawabku. Mencoba meyakinkan apa yang aku dengar.
Dia merapatkan wajahnya kesamping kananku. Mendekatkan mulutnya ditelingaku, “ sorry, I’m late. I have just arrived from Hongkong, and call you. Its extreemly jam here in Jakarta,” ucapnya menjelaskan.
Aku tersenyum,” its oke. Wanna find some quite place to talk?”
“ Fine. Its great.Lets go,” jawabnya antusias sambil menggandeng tanganku. Aku melemparkan selembar limapuluh ribuan diatas meja. Dan kami meninggalkan meja itu, keluar.

“ Bagaimana perjalananmu,?” tanyaku, dalam bahasa Inggris, dalam perjalanan entah kemana dalam mobilnya. Dan memang hanya bahasa itu yang dia kuasai. Lahir dan besar di London, kemudian mengabiskan waktu bekerja di Hongkong, membuat dia susah sekali belajar bahasa Indonesia. Meskipun, dia ada keturunan Indonesia.
“ Melelahkan. Namun aku sangat rindu padamu,” katanya dibelakang kemudi.
“Kamu bohong! Pasti kamu sudah mendapat orang lain yang lebih di Hongkong,” timpalku.
Dia menoleh, mengerjapkan matanya seakan tak percaya dengan ucapanku barusan. “ What? Hey..Come on. Aku sudah mengatakan beberapa kali kepadamu. Jangan pernah ragukan perasaan ku padamu. Kita akan menikah bukan? Kemudian punya anak dan menjalani kehidupan sampai kita tua. Arya, you know how much I love you.”

Tangannya meraih tanganku. Seribu kecamuk kembali kedalam kepalaku. Membenturkan aku kepada kenyataan yang sangat sulit untuk aku cari jalan keluarnya. Kenyataan bahwa ibuku menginginkan cucu, yang pastinya akan sangat tidak mungkin aku berikan, membawaku melayang menembus pekat. Batinku berteriak.

“ Ada apa, Ar?” katanya lirih, “ apa ada omongan yang salah pada ucapanku. Ceritakanlah. Bukankah kita sudah berjanji untuk selalu berbagi. Saling melengkapi!”
“ Aku tahu. Tapi sudahlah. Nanti aku ceritakan,” aku berkelit.” Oya, kemana kita malam ini?”
“ Hey. Jangan bohongi aku, Arya. Meski senyum itu nampak di wajahmu, namun matamu tidak bisa berbohong. Katakan!”

Aku terdiam. Menghela nafas panjang. “ Ibuku menyuruh aku menikah!” jawabku pelan. Berat rasarnya mengatakan ini. Meski didepan orang yang aku percaya sekalipun.
“Wah, surprise. Kalau begitu kenalkan aku pada ibumu. Kita akan membicarakan pernikahan kita secepatnya. Bagaimana kalau besok?”
“ Ah, kamu gila. Ini Indonesia. Bukan London atau Hongkong. Kita pasti akan sulit diterima disini,” jelasku.
“ Tapi kita belum coba. Kita belum melakukan apa-apa.”
“ Iya benar. Tapi apakah kamu tahu. Ada banyak hal yang bisa membuat kita tidak diterima. Hukum disini berbeda dengan di luar sana. Kita tidak bisa tinggal dalam satu rumah. Masyarakat akan marah, karena kita melanggar norma-norma sosial dan agama. Ini timur, bukan barat. Indonesia, bukan London,” kataku, menjelaskan panjang lebar.

“ Honey. Stop! Siapa bilang kita akan menikah di Indonesia? Siapa bilang kita akan tinggal di Jakarta? Aku tidak pernah bilang begitu, kan?” Ia tersenyum. Lembut sekali. Kemudian mengangguk pasti,” kita akan menikah di luar negeri. Di Belanda. Aku punya banyak kenalan disana yang bisa membantu kita,”

Aku terdiam. Bayangan ibu kembali muncul. Bayangan perempuan yang selama ini mengasihi aku tanpa batas. Perempuan yang mencurahkan air susunya membesarkan aku.
“ Tapi, bagaimana dengan ibuku? Pekerjaan ku? Dan semuanya?”
“ Kamu bisa bekerja di kantorku. Itu akan menjadi tanggung jawabku. Ibumu, kita ajak sekalian kalau dia mau?”
“ Tidak akan! Dia tidak akan mau. Merestui saja sepertinya tidak akan.” Kataku putus asa.
“ Kalau begitu, kita lakukan saja apa yang seharusnya kita lakukan. Oke dear?” ia meyakinkan aku, lagi-dan lagi.

Aku tertunduk. Mencerna setiap ucapannya. Mencoba menterjemahkan setiap kata menjadi arti yang se simpel-simpel nya. Merasakan ada bahagia dan bimbang berkecamuk dalam dada ini. “ Baiklah. Kita coba,” jawabku lirih.“Jadi akan kemana kita, malam ini Leon?” tanyaku.
“ Hmm..kamu tuan rumahnya. Show me the best, will you?”
“ Sure!”

Malam merambat dengan pelan. Laju sedan hitam metalik itu membelah Jakarta memasuki tol dalam kota terus saja ke selatan. Menuju Bogor. Aku dan Leon duduk tanpa banyak bercakap. Mata kami sesekali bertemu. Tangan kami berpegang erat. Sibuk dengan pikiran kami masing masing. Alunan lagu manis mengalun perlahan dari tape mobil yang di hidukan. Aku membenarkan letak duduk ku. Mencoba meyakinkan kejadian hari ini. Menafsirkan hingga pada batas sadar yang paling rendah. Pemahaman yang paling mudah.

Maafkan aku ibu. Aku belum bisa menjadi ksatria yang kau impikan. Aku belum bisa pulang. Aku berbeda.
Dan malam ini, akan sangat panjang terasa.
[terima kasih kawan-yang sudah berbagi pengalaman kepada saya, dan minta dibuatkan sebuah cerpen. Tulisan ini untukmu, hidupmu]

Monday, July 10, 2006

Doa Tanpa Ujung

serumpun doa tanpa ujung
menyeruak diantara pekat malam tanpa cahaya
menembus arsy
tempat bersemayam para malaikat
dan bidadari tanpa cela

serumpun doa
untuk kebaikan hari ini
dan esok

---

Semalam tadi,
aku terjaga dari buaian malam yang beku
menepis beberapa nyamuk yang singgah di kulit
mencari makan
kemudian membenarkan letak bantal tidur
membalik badan mendekap guling usang
membenamkan separuh badan pada hangat sleeping bag merah
yang aku jadikan alas tidur

Kasurku tak berseperai

Aku meraih saklar di ujung kepala
menghidupkan cahaya yang menerangi umat manusia
berterimakasihlah kepada Edison..

Pukul tiga,
dingin menyergap lewat jendela kecil yang terbuka
sengaja
embun sejuk dan angin menerjang masuk

Semalam tadi, mata tak dapat terpejam
aku meniup lilin untuk ku sendiri
merapal doa untuk ku
kemudian membungkus kado, juga buatku sendiri

Ada gambaran ayah melintas di depan mata
wajah sendunya menatap lekat
ada sorot bangga bercampur sedih
seperempat abad sudah, kaki ini melangkah
menapaki pahit manis menjadi manusia
menjadi laki-laki

Ada gambaran ibu melintas kemudian
menangis
hanya terisak
pipinya basah, matanya berkaca

"maaf kan aku ibu,
petualangan yang ku buat, bukannya tanpa maksud
aku menikmati menjadi laki-laki di belantara
menyanjung diriku sebagai anak di puncak tinggi
merasakan jadi manusia di hempasan badai dan topan
menjadi sahabat untuk yang lain di kekeringan tenggorokan
atau kuyup ditimpa hujan"

"Ampuni anakmu, ayah
aku berusaha menebar senyum seperti yang kau ajar
menapak kebaikan seperti amanat yang kau titip
bukan dengan jalanmu
tapi dengan caraku....
melintas kampung-kampung terpencil, menjadi lilin
mendaki tanah-tanah tertinggi seperti belalang
mengepak di awan putih di fajar sidik seperti alap-alap
bukan dengan jalanmu
tapi dengan caraku"

ridoi aku menapak sisa umur
wahai,
pemilik surga

--boim akar 100706----

Friday, July 07, 2006

Semalam Bersamamu

menikmati semalam tadi
bersamamu
penuh debu..penuh bara

ada dekap
ada rayu
ada senyap
ada gelisah
keluar bersama keringat dingin

meradang memecah gelap malam
menjerit tertahan diantara gigitan kelam
aku terbaring dalam dekap
dan aman

semalam bersamamu
kenapa pagi terlalu cepat datang??

***fdj
seonggok puisi hari ini