Thursday, March 31, 2005

SUMBING! Antara Cinta dan Kesejatian

SUMBING!

Antara Cinta dan Kesejatian

Berawal dari perasaaan yang nggak karuan, karena rutinitas pekerjaan yang sangat menyita waktu selama seminggu, ditambah perdebatan panjang dengan seseorang yang nggak bisa ketemu ujung nya, gw putuskan untuk pergi pada liburan dua hari, sabtu minggu.Duapuluh enam ~ dua puluh tujuh Maret duaribu lima. Kontak keteman-teman dekat, nggak menghasilkan sesuatu yang berarti. Sibuk kerja, ada ujian, ada ulangan, sibuk dengan kepentingan keluarga, dan banyak lagi penolakan yang .yah.begitulah.

Gw kontak Jaka, dan dia setuju. Akhirnya Jumat malam dengan diantar Deden, Qisin, Takur, Usdi dan Gendut.gw jalan ke Sumbing. Berdua saja. Sebenernya niatnya sih udah bullet. Kalo emang Jaka nggak bisa sekalipun, gw akan terus jalan. Enatah Sindoro, Sumbing mungkin merapi dan merbabu. Yang penting bisa keluar.



Di pool bus Sinar Jaya Cibitung, bus ke Wonosobo ternyata udah nggak ada yang berangkat. Akhirnya harus rela nambah budget buat naek AC ke Purwokerto. Nggak apa-apa lah, yang penting sampe pas waktu. Pukul setengah lima pagi, bus masuk terminal Purwokerto, kami turun dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Wonosobo dengan bus lain. Perjalanan kali ini, hanya lebih banyak pikiran yang maen. Cape banget soalnya. Naek Buss, gethu loh!



Pukul setengah delapan kami, sampai di Dusun Garung. Pintu gerbang pos pendakian ke SUmbing. Sepi. Di depan BRI hanya ada beberapa tukang ojek magkal. Sementara warung nasi yang emang saban kali ke Sumbing di samperin, juga masih sepi. Ups..cacing-cacing dalam perut udah demo, neh! Nggak bisa nahan kalo udah nggak dapet jatah. Jadilah sepiring nasi, dengan mendoan dan beberpa menu jadi umpan meraka pagi ini. Keperluan lain yang belum dibeli, kemudian dilengkapi. Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan bahasa Jawa sebisanya, gw dapet informasi bahwa masih ada sekitar seratusan orang dari kemarin. Mengenai cuaca, dari seminggu lalu belom hujan, katanya. Jaka bilang, syukurlah. Tapi gw bilang, semoga hari ini bukan awalnya!



Jam sembilan, kami ke Basecamp. Ada beberapa pendaki yang sudah turun. Dari Semarang. Kami sempat ngobrol dan mencari informasi mengenai jalur dan sumber air. Oh.cuaca bersahabat dari kemarin. Bulan cerah, meski bintang sedikir, matahari nggak terlalu terik, berawan, tapi nggak hujan, katanya! Sekali lagi, gw berucap, semoga hari ini bukan awalnya.

Kami menyelaesaikan administrasi kemudian, beristirahat. Jam 10 nanti, kami akan segera memulai pendakian. Masih ada waktu sekitar 20 menit. Persiapan kembali di cek. Sambil breafing sedikit tentang jalur yang akan kita ambil. Karena Jaka belon pernah ke sini, jadilah dia nurut waktu gw bilang lewat jalur baru aja. Kenapa, katanya. Lebih bersahabat, ketimbang jalur lama. Jalur pembantaian.

Ternyata satu rombongan yang dari tadi sibuk berbenah, juga pendaki dari Jakarta. Jumlahnya delapan orang. Empat perempuan dan empat laki-laki. Ngakunya sih dari salah satu PA universitas di kebon jeruk. Mereka naik di depan kami. Kabarnya mereka sudah naik ke SIndoro terlehih dahulu, dan baru sampai beberapa jam sebelum kami.



Langkah-langkah awal pendakian terasa enteng. Senda gurau masih menghiasai perjalanan kami. Beberapa kali jaka nanya, kenapa begini, kenapa begitu dan dengan berbekal peta dari pos, gw suruh dia buat leading di depan. Nggak salah memang, tapi masih kelihatan suka ngebut diawal. Gw sampe ketinggalan terus. Gile ni anak, pikir gw! Ngebut terus!

Rombongan dari Jakarta, ketemu ketika kami melewati hutan bambu setelah keluar dari pemukiman penduduk. Mereka malu-malu membuka percakapan, kami dengan senang hati dapet temen ngobrol [ sumpe lo! Ada yang cakep, makanya jaka betah tuh!]. Perjalanan di tempuh mulus sampe pos 1. Dibawah pos satu melwati aliran air, kami melihat ada yang berbeda. Air melimpah ruah dengan stream yang deras. Istirahat disana untuk sekedar melemaskan otot yang kaku. Mereka di depan. Gw bilang, nggak usah di kejar. Jangan ngoyo! Akhirnya perjalanan standar kami lakukan, target hari ini adalah pestan, atau watu kotak! Jika ketemu malam.

Masih seperti setahun yang lalu, ladang pertanian yang subur membentang didepan mata. Kanan kiri tanaman kol dan bawang, tembakau, cabai besar dengan bunga berwarna ungu, dan yang pasti, gagah nya Sindoro dibelakang kami. Semuanya nampak sempurna. Keindahan alam yang nggak bisa ditandingi oleh siapapun.

Kabut tipis menyergap dari belakang. Sementara hujan rintik-rintik mulai turun. Ada kegelisahan dihati, apakah harus dilanjutkan atau berhenti disini. Di pos2 saja! Jaka mulai mengalami masalah dengan kakinya di sini. Di bilang, dengkulnya seperti terkilir. Obat penghilang nyeripun dioleskan. Di pos 2, kami berhenti untuk mengisi perut. Laper! Sudah waktunya makan. Mie Goreng, coklat, kopi manis, pun di buat. Lumayan, untuk menambah energi selama perjalanan. Kabut sudah mulai menyergap dari segala arah. Jarak pandang sudah sangat terbatas, mungkin tidak sampai 10 meter. Tapi kemudian lenyap lagi terbawa angin. Detik berlalu, kami melanjutkan perjalan. Dibawah pohon diatas pos dua, gw istirahat, sempet ngobrol dengan senior dari Cibinong. Tapi kenapa jaka nggak muncul-muncul yah, padaha; jarak gw sama dia nggak ada 5 meter tadi. Ternyata dia lagi berjuang dengan kaki nya yang nggak bisa diajak damai. Kramnya nambah!

Jadilah perjalanan di perlambat. Speed dikurangi. Dan akurasi tempat di perpendek menjadi, jika kena malam, kita langsung buka tenda aja. Nggak perlu jadi Nippon!

Pukul tiga sore, hujan turun dengan lebatnya. Jalan di jalur baru yang didominsai oleh tanah, menjadi sangat licin. Beberapa orang pendaki yang baru turun malah menyarankan untuk kembali turun, karena memang jalur yang sangat berbahaya jika dilalui dalam keadaan hujan. Tapi seakan menepis keraguan, kami melangkah perlahan. Mencari pegangan pada pohon-pohon dan jumpalitan di tanah! Beberapa kali terpeleset karena kondisi jalan yang sangat-sangat lembab, ditambah siraman hujan yang cukup deras, terpaan angin yang kencang dan kabut yang tebal. Tapi langkah kaki tak tertahan.

Menjelang malam, kami sampai di pasar watu. Mengingat kondsi saat ini yang tidak memungkinkan untuk bergereak lebih jauh ke Watu Kotak, kami memutuskan membuka tenda di sekitar lintasan, antara Watu Kotak dan Pasar Watu. Tepatnya hanya sekitar sepuluh meter dari percabangan jalan tipuan. Yang mengharuskan kita turun beberapa meter untuk kemudian berjalan scrambling kearah watu kotak. Syukurlah, dari selepas Pestan, hujan benar-benar berhenti dan bulan cerah, dengan bintang yang malu-malu muncul. Di kejauhan, kota Wonosobo menyisakan pemandangan lampu-lampu yang indah gemerlapan. Sindoro dengan puncaknya yang berawan mambah gagah tersasa. Udara cukup hangat, dan hembusan angin tidak seberapa kencang. Menu makan malam pun disajikan. Ditemani dua orang pendaki dari Pati, kopi panas, jahe hangat, chicken nugget, nasi putih, sop brololi jadi makanan pengantar tidur kami malam ini. Sementara lagu-lagu dangdut dari radio mungil milik pendaki Pati masih mengalun. Begitulah, malam ini gw
tidur dengan perut kenyang dan suasana yang cukup bersahabat.

Pukul 4 dini hari, kami bergerak dengan pasti ke puncak. Mencoba jadi pendaki Nippon, kami bergerak cepat. Tapi apa daya, mentari pagi sudah lebih dulu menyentuh puncak dari kami. Beban berat di punggung membuat pergerakan kami sedikit demi sedikit melambat. Sepagi ini, harus berjuang dengan udara tipis dan dingin menyusuri jalan berbatu, menanjak dan bau belerang yang sesekali melintas di hidung.

Menjelang pukul tujuh pagi, kami berdua menapakkan kaki di puncak. Pendakian kali ini membawa kesan tersendiri buat gw. Ada keharuan ketika gw sampe di puncak. Padahal sekitar limapuluh meter dibawah, kepala udah mulai pusing. Mual dan kepingin muntah! Tapi gw kuatkan.

Pukul sembilan kami turun, setelah makan dan sedikit bersenda gurau diatas. Menikmati pemandangan alam spectakuler. Awan bergerak dengan pea rah timur. Sindoro masih di selimuti kabut disebagian puncak. Sementara dikejauhan Gn Slamet masih terlihat samara-samar. Siraman matahari pagi, yang berebut tempat dengan kabut pagi ini, menambah suasana beku yang dalam. Beberapa gambar berhasil diabadikan jaka dengan Handycamp caggihnya. Lumayan buat kenang-kenangan, katanya!

Ah.selesai sudah perjalanan kali ini. Dengan segala kerendahan hati di pelukan sang maha pencipta lewat dekapan awan dan hujan, gw bersyukur. Ada satu lagi persahabatan terjalin lewat pendakina ini.



Boim say thanks to:

Allah SWT, dan Rasulullah Muhammad SAW !

Ibu dirumah, dengan segala doanya.

Jaka, teman seperjalanan. Jangan kapok sama style gw di sono kemren yah. Gw udah maafin semua yang lw minta. Anggap aja kita-sama-sama belajar mengekang kesombongan masing-masing.

Buat Anak Akar Bekasi yang nganter, Qisyute, Deden, Takur dan Usdi, juga Gendhut! Ntar kapan-kapan kita sesini bareng!

Buat seseorang disana; Gw tahu gw egois, tapi gw juga nggak bisa selalu jadi gula dari kopi yang lw minum. Kalo lw emang nggak bisa terima hoby gw, ada sejuta jalan terbentang buat kita menggapai kesempurnaan hidup masing-masing. Maafin gw!

Buat semua pendaki pada waktu itu, Amos dan kang .., dari Bandung, tar gw ke buah batu cari kalian yah.

Buat yang dari Cibinong, terima kasih sudah menyadarkan kami untuk tidak jadi pendaki Nippon!

Buat yang dari Universitas Indonusa Esa Unggul, gw tunggu kabar nya.

Buat yang Dari Pati dan Semarang, thanks SMS nya!

Buat semua pendaki di dunia, terima kasih sudah menjadi inspirasi buat gw memilih dan menjalani hoby seperti ini.



Salam

Boim.

****mencari kesejatian ***

Friday, March 25, 2005

Perjalan 2

Jeep yang aku tumpang melaju kencang. Mengguncangkan tubuhku yang masih melakukan aklimatisasi. Roda-rodanya menggilas batu-batu dan salju yang masih saja turun. Meski sudah tidak sedingin ketika aku datang kemari dua bulan lalu, tapi tetap saja kehangatan Indonesia masih melekat erat ditubuhku.
"Hey Pals! What are you thinking, buddy! Enjoy the trip! Are you sick?"
Aku menoleh kearah suara itu. Namanya Owen. Orang Inggris. Teman yang baru aku kenal, beberapa detik ketika aku turun dari pesawat. Ketika itu, bawaan ku yang segunung menggugah dia untuk bertanya kemana aku pergi. Obrolan kami berjalan akrab, ketika aku menyebutkan suatu tempat. Dan dengan mata birunya yang berbinar dia berseru keras, " thanks God! I found you!" Kemudian dia memeluk ku sambil memegang kedua balah pipiku, seoalh tak percaya. Aku yang merasa aneh terhadap perlakuannya, hanya bisa bengong tak berkedip dan buru-buru mengingatkan kalau kita sedang terburu-buru mengejar bus. Ah...Owen! sahabatku satu-satunya disini.
"No. I'm good. I just think!" jawabku sekenanya.
"Hey...what are you thinking? A girl? You must have one in Indonesia. I went there twice, and saw many beautiful girls." katanya menyelidik.
"Yes. The woman that I love so much! My Mom." jawabku pelan
Dan Owen tak berkata apa-apa lagi, kecuali menepukkan tangannya beberapa kali. Dia tersenyum. Dimatanya seolah berkata, sabarlah kawan, perjalanan ini pasti berakhir.
**********************************************************************************
Malam baru saja datang. Udara dingin menyergap dari balik pintu yang dibuka oleh Owen. Nampaknya dia yang paling bersemangat tentang perjalanan ini. Segelas susu panas masih mengepulkan uap tipis keudara. Aku kembali teringat ibu. Pada saat-saat terakhir aku pergi meninggalkan Indonesia. Segelas teh panas di hidangkan ibu di meja belajarku.
" Al," suaranya memecah keheningan. Aku yang masih membereskan beberapa perlengkapan menoleh, tanpa menjawab. " Benar, kamu akan tinggalkan Ibu sendiri? Benar kamu akan tinggalkan Indonesia? Apa kamu sudah pikirkan masak-masak, nak?
Aku menoleh. Menatap ibu yang selama duapuluh enam tahun membesarkan ku dengan kasih sayangnya. Ibu melangkah gontai dan duduk di sebelahku, membantu memungut dua buku yang akan kubawa, dan menyerahkannya padaku. Aku menerimanya tanpa bisa melihat wajahnya yang sudah mulai senja.
"Tapi bukan karena pertentangan dengan ayahmu, bukan? " lanjutnya.
Aku masih bisu.
" Al. Jika karena ayah kamu pergi, berarti kamu kalah, nak! Kamu pengecut. Rasanya sia-sia selama ini ibu membelamu..."
"Bukan, bu!." kataku memotong ucapan ibu. " Aku pergi karena aku ingin. Ibu tahu, selama ini ayah hanya ingin aku jadi dokter, sekarang sudah! Kemarin aku di wisuda. Jadi dokter. Kini saatnya aku memilih pada apa yang aku anggap benar. Aku sudah menuruti keinginan Ayah. Aku tinggal kan hobyku menjadi seorang pendaki, dan sekarang semua keinginan ayah sudah aku penuhi. Lalu apa Al salah jika Al pergi, bu?"
" Nggak, Al. Nggak salah. Tapi, sepertinya egomu masih seperti dulu. Kamu persis ayahmu. Nggak bisa dicegah. Sekarang apa daya ibu. Ibu larangpun, pasti kamu akan pergi. Kamu sudah besar Al, kamu sudah bisa menentukan jalan hidup mu sendiri. Ibu nggak akan mencegah. Tapi pikirkanlah. Segala sesuatu yang kamu ambil akan kamu pertanggungjawabkan kelak!"
Dan, seolah kata-kata itu yang selalu jadi azimatku selama ini. Seoalah ibu selalu menemaniku di setiap perjalanku. Hingga kini aku bisa berada di sini. Di Katmandu. Pintu gerbang menuju puncak dunia. Yah, aku tercatat dan terpilih sebagai satu dari 7 orang pendaki yang akan melakukan pendakian Everest dengan didanai oleh sebuh perusahaan rokok di Amerika. Entah bagaimana mereka meilihku, juga masih aku ragukan. Tapi itulah hidup dan kenyataan.
Matahari bersinar cerah hari ini. Udara menjadi sedikit lebih hangat. Tapi tetap saja, rasanya badan ini menggigil setiap kali bertemu dengan air mandi. Untunglah pemilik rumah yang aku tinggali, mau dengan sukarela memasakkan air buat ku mandi! Keramahtamahan suku yang sudah pernah aku baca dari beberapa buku, ternyata memang bukan isapan jempol. Itulah mereka.
Jadwalnya baru dua hari lagi, rombongan inti akan sampai disini. Sebelum bulan depan kami akan mendaki ke puncak.
Duarr!
Aku terpekik. Menutup telingaku dengan refleks. Langit yang bebrepa menit lalu cerah, perlahan-lahan mulai gelap. Angin berhembus sedang, tapi kecepatan awan tidak seperti biasanya. Kilat menyambar bebrapa kali diurada. Dikejauhan, puncak everest seperti diterjang badai hebat. Sapuan angin menghadirkan pemandangan menakjubkan, ketika butir-butir putih terhempas keudara seperti sebuah permadani terbang. Owen berteriak dari dalam rumah. Ada pendaki yang terjebak di atas. Ya Tuhan. Aku berhenti berfikir dan lari secepatnya kerah rumah. Owen masih mendengarkan radio, dan beberapa kali berusaha menghubungi base camp di pos satu. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya kami mendapat jawaban. Dari berita yang kami terima, ada sekitar empat orang tersambar petir dan pingsan di sana. Di luar dugaan, Owen menanyakan apakah kami boleh keatas untuk menolong.
"We are doctors! We can help. Please stay there and keep warm!" teriaknya didepan radio.
Tanpa banyak bicara kami bergegas meminta ijin lewat radio untuk segera naik. Aklimatisasiku belum lagi usai. Tubuhku masih sering terkena dingin yang hebat. Tapi demi nyawa empat orang lebih kami berusaha sekuat tenaga.
Dari perbincangan dengan Owen, aku tahu bahwa yang naik kesana adalah amatir yang sedang mengadakan pendakian gembira. Salah satunya adalah anak seorang pejabat pemerintah di Belanda. Ah...anak orang kaya yang mencari sensasi dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Demikianlah gunung. Tak bisa diperdiksi. Udara dingin siang itu kami tembus dengan dibantu beberapa sherpa. Perbekalan dan alat-alat kedokteran praktis semua telah masuk dalam tasku. Hebatnya, para sherpa itu, begitu mendangar terjadi tragedi di gunung, tanpa dikomando segera berkumpul dan menunjuk beberapa orang untuk mendampingi. Sungguh sebuah pengorbanan yang hebat.
********************************************************
Didepan sebuah televisi didalam ruang kerjanya, seorang laki-laki setengah baya menatap siaran ditelevisi dengan tidak berkedip. Siaran televisi tentang tragedi pendakian disebuah gunung, dan diselamatkannya dua orang yang tersambar petir disana. Diambilnya remote control yang ada didepannya dan ditambahkan volume suara seolah tidakpercaya dengan apa yang dilihatnya.
Kringg....kring..
Telepon di depannya berbunyi. Dengan tidak meninggalkan matanya pada layar televisi, di raihnya gagang telepon.
"Halo.."
"Halo, Yah!.Ayah hidupkan tivi sekarang. Ada Aldi yah! Aldi ada ditivi.." kata suara di seberang telepon dengan berapi-api.
"Iya, ayah sudah lihat."
"Jadi, ayah maafin Aldi, kan?"
"Sudahlah, Ayah sudah maafkan dia dari dulu. Oke lah, nanti kita bicara lagi di rumah."
"Oke. Ayah mao dimasakkan apa?"
"Kesenangannya Aldi.!"
Dan telepon diletakkan nya kembali.
"......dalam tragedi yang menewaskan dua orang di everest tersebut, dua orang dokter dari team expedisi yang masih menunggu giliran untuk naik, berhasil menyelamatkan dua orang pendaki. Salah seorang diantaranya -anak seorang pejabat pemerintah di Belanda- masih dalam kondisi memprihatinkan dan dirawat di rumah sakit di Kathmandu. Sementara dua orang dokter yang menyelamatkannya, dr. Aldi Wilaga, dari Indonesia dan dr. Owen Bright dari Inggis, belum memberikan penjelasan resmi mengenai hal itu. Mereka masih berkonsultasi dengan dokter-dokter dari rumah sakit setempat untuk pemulangan ke dua korban yang selamat dan segera memberikan keterangan pers setelah itu. Kami akan terus melaporkan berita ini live satu jam mendatang. Dari Kathmandu, Nepal, reporter anda Alan Williams melaporkan untuk Breaking News hari ini.
Sang lelaki tersenyum, diraihnya jaketputih di sandaran kursinya dan bergegas meninggalkan ruangan kerjanya untuk segera pulang.
***