Wednesday, January 25, 2006

Teguran Yang Indah, Egois

Teguran Yang Indah, Egois
Oleh : Boim Akar

Suatu kali, saya pernah mendapati email dalam inbox saya berbunyi kurang sedap. Dari seorang teman baik saya. Bunyinya kira-kira seperti ini, “ Lagaknya baca ANAPURNA ama INTO THIN AIR, Ngomongin Everest, padahal bikin simpul pangkal aja nggak becus. Temen di tinggalin di belakang biar mapus. Dasar Rempakem! “ dan seterusnya.

Saya tertegun, ada perasaan marah sebetulnya. Apa maksudnya? Kenapa harus saya? Saya tidak seperti itu. Dan seribu pembelaan dalam benak saya menekan-nekan otak untuk segera dikeluarkan. Saya mencoba menuliskan pembelaan dalam email saya, tapi urung saya lakukan. Lalu, seorang teman menghubungi saya, dia bilang “ dalem”. Saya tahu sekali maksudnya. Hati saya tambah sakit.

Saya membaca email tersebut berulang-ulang. Seakan tidak puas bahwa mata sudah bisa membaca nya dengan jelas. Takut ada satu dua kata yang terlewat sehingga salah menafsirkan artinya. Namun, tidak ada yang berubah.Semuanya masih sama seperti ketika saya membacanya pertama kali.

Mata menerawang jauh. Otak berusaha membongkar file-file lama yang tersimpan rapi dalam berangkas arsip di kepala. Satu-satu saya buka sampulnya. Kemudian perlahan-lahan saya cermati isinya. Dua buku tersebut memang saya baca sampai tuntas. Bukan sekali. Beberpa kali memang. Anapurna mencertiakan pendakian 13 orang perempuan menaklukan puncak yang teramat sangat ekstrim. Puncak bersalju dengan kelembaban rendah dan angin yang menggampar seperti hendak mencabik. Ada banyak ilmu disini. Manajemen perjalanan modern dan persiapan sebuah ekspedisi. Pergulatan batin diantara para pendaki perempuan yang meninggalkan rumah, anak, suami untuk mencapai ambisi mereka. Meski toh, pada akhirnya kesemuanya sukses menempatkan mereka pada jajaran pendaki-pendaki top dunia. Sedangkan Into Thin Air, adalah kisah pengalaman seorang wartawan dalam pendakian ke tanah tertinggi di bumi, Everest, yang menjadi legenda. Siapa yang tidak pernah membacanya? Semua orang membaca kisah mengharukan itu.Kisah yang membuat si wartawan menjadi sangat ternama. Dan pernah dibuat filem juga. Saya rasa, semua anak gunung di Indonesia pernah nonton filem tersebut dan membaca buku-buku itu. Lalu untuk membicarakan masalah Everest, adakah yang salah? Semua orang memposting ke millist-millist setiap info terbaru dari Everest. Memberikan kabar-kabar lama yang selalu melegenda, tentang orang-orang yang mendaki nya, orang-orang yang meninggal disana, hingga masalah tumpukan sampah dan kaum Sherpa yang meski tinggal disana masih harus terus-menerus hidap dalam strata nomor dua.
Point kedua membuat mata saya terbelalak. Sejauh itukah sebenarnya saya melangkah? Dari dulu, saya memang menyukai olah raga ini. Berjalan di kelebatan hutan, menyusuri jalan setapak yang berliku, menuruni jurang dan lembah mencapai puncak tanah-tanah tertinggi, dan mengabadikan sejuta keindahan lukisan Tuhan lewat mata hati.

Alangkah bodohnya saya, ketika sadar bahwa point-point besar sudah diraih, tapi banyak hal kecil namun sangat penting justru terlewat karena ego saya. Malas mempelajari hal-hal kecil tersebut. Simpul pangkal. Sebuah kombinasi simpul yang digunakan untuk permulaan membuat tandu darurat. Jika terjadi sebuah kecelakaan yang membuat seseorang tidak bisa berjalan dialam bebas, mau-tidak mau simpul pangkal dibuat. Tandu darurat harus disiapkan. Ini sama saja membuat pondasi pada rumah yang akan dibangun. Lalu bagaimana bisa sebuah rumah berdiri kokoh jika pondasinya saja bobrok? Bagaimana kita bisa menyelamatkan seseorang disana pada keadaan itu, jika dasar ilmu nya saja kita tidak tahu?

Pendakian terakhir saya bongkar dari file memori otak saya. Setumpuk lebih. Belembar-lembar halamannya. Hanya ada satu yang mengganjal dan sudah di blok warna merah darah pada judulnya. Gede Pangrango pada pendakian bersama beberapa orang dari millist. Membawa serta beberapa teman dari luar kota dan salah seorangnya adalah pemula. Malu rasanya membuka lembaran itu kembali. Tapi saya kuatkan menelusurui satu-satu rangkaian cerita didalamnya.

Saat itu, ketika summit attack dimulai pada siang hari, dan berakhir pada sore hari, ada ketimpangan karena ada seorang pendaki dan dua orang masih terjebak di belakang hingga malam menjelang. Kaget, sudah pasti. Tapi ternyata beberpa teman yang lebih kuat sudah pulang dan duduk manis di tenda, sementara yang dibelakang sedang berjuang melawan gelap dengan cahaya lampu senter yang hampir padam. Saya terhenyak. Menyadari betapa bodohnya jika saat itu, teman kami itu tersesat karena kelelahan, atau tersandung, jatuh dan patah tulang akbibat penerangan yang buruk. Hingga ketika beberapa orang berinisiatif untuk menjemput, kaki ini rasanya enggan sekali melangkah. Ada apa dengan saya? Sebegitu kah ego saya ketika melawan keadaan darurat?

Paginya, saya sempat berfikir ketika berjalan didepan. Ini adalah pembuktian. Namun tidak, ternyata saya salah besar. Saya sudah meninggalkan seorang pendaki pemula dengan dua orang yang berjalan terseok-seok dibelakang.

Kaki saya lemas, menyadari kebodohan itu saya buat berulang-ulang. Mendaki gunung, menginjak tanah-tanah tertinggi bukan untuk membuktikan kekuatan pada kawan-kawan lain yang lemah. Meninggalkan kawan dibelakang dengan segala keterbatasan dan segala kelemahan nya, menganggap diri lebih baik dari yang lain, adalah sebuah kebodohan. Resiko yang akan diambil bisa jadi lebih berat dari sekedar celaka.

Kawan ku hari ini, menampar ku dangan sebuah perkataan yang ringan. Namun rasanya bagai sebuah badai yang melibas sekujur badan. Pembelajaran yang membuat saya kembali berfikir, apakah saya memang mendaki untuk diri saya sendiri, dengan mengabaikan orang lain dilingkungan saya. Dan bukan untuk apa-apa. [bm 250106]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home