Tuesday, December 20, 2005

CERPEN - AKU DAN MASA KECIL

AKU DAN MASA KECIL

“Malam dikampungku adalah nyanyi jangkrik, malam dikotamu adalah lagu kemaksiatan”
Itulah gambaran umum desa, yang sejak tahun seribu sembilan ratus delapan puluh satu, tanahnya aku tapaki. Airnnya aku minum. Dan sejuk udaranya aku hirup sebagai modal kehidupanku, hingga kini. Tak ada banyak orang yang tahu, bahwa satu daerah dikawasan penyangga ibukota, masih ada desa seperti tempatku. Ada sawah luas menghijau, jika sedang musim tanam, ada padi runut menjuntai menguning emas jika sedang musim panen. Jalan berbatu dan daerah yang rimbun adalah gambaran jelas, bahwa daerah kami memang amat sangat kaya dengan norma masyarakat desa yang arif.

Lampu minyak tanah yang kugunakan untuk belajar dimalam hari, tak pernah terhitung jasanya. Menerangi aku, yang dari belajar mengeja A, B, C, D hingga belajar mengaji, tak pernah letih menebar kan hangat dan terang. Terkadang, diwaktu bangun pagi, aku masih merasakan sisa nyalanya lewat lubang hidung yang berwarna hitam. Yang kemudian pada pelajaran disekolahku, aku tahu bahwa namanya adalah karbondioksiada atau CO2.

Jangan harap bisa bermain sepatu roda, atau playstation disini. Karena, untuk sekedar mendapatkan satu buah layang-layang pun, kami harus mencari kekampung tetangga. Sekitar tiga puluh menit dengan berjalan kaki. Kami tak pernah diajari untuk bisa memegang stick PS yang katanya sangat hebat itu. Permainan kami adalah layang-layang, yang harus merelakan badan terbakar matahari seharian, dan membuat kulit kecoklatan. Kemudian kami akan mandi disawah, atau di sungai kecil dipinggiran desaku, beramai-ramai. Bertelanjang bulat dan meloncat dari jembatan tengah jalan, membawa kesenangan tersendiri buat kami. Pada waktu sang penguasa siang pulang ke singgasanaya, kami akan pulang kerumah masing-masing, untuk kemudian bertemu di Musholla dan mulai mengaji hingga usai shalat Isya.

Dulu aku berfikir, jika aku besar aku ingin masuk menjadi seorang ABRI. Menaiki pesawat tempur, hingga aku bisa menjaga keluargaku dari musuh. Aku selalu membayangkan, bisa hidup dihutan luas, kemudian menyusup kesaranag penjahat, yang sepengetahuanku, penjahat itu tinggal dihutan, pakai baju compang camping, dekil dan jarang mandi. Lalu aku akan menyamar untuk dapat masuk kesana. Aku pasang ranjau-ranjau yang bisa meledakkan sebuah gedung pada tiap-tiap sudut persembunyiannya, kemudian aku bebaskan tawanan-tawanan yang ada disana, yang pastinya adalah orang desa yang dijadika budak oleh mereka, atau teman-temanku sesama tentara yang terjebak dan tak bisa keluar dari sarang penjahat itu. Setelah kosong, aku akan mulai meledakkan persembunyian mereka, dengan alat kontrol jarak jauh. Ada ledakan dimana-mana. Ada api berkobar dan ada jeritan-jeritan kesakitan dihutan itu. Aku berlari paling belakang, seperti layaknya seorang jagoan. Tapi, tiba-tiba rentetan peluru terdengar dibelakangku. Ternyata para penjahat itu tak rela tempat persembunyiannya diobrak-abrik. Jadilah pertempuan sengit diantara kami. Tapi tentu saja aku akan keluar sebagai pemenagnya, meski pada beberapa bagian tubuhku peluru panas tak bisa aku hindari.

Aku pernah bertanya kepada beberapa orang teman, jika disuruh memilih akan memilih mana, jadi anak-anak atau jadi seperti sekarang. Artinya tumbuh menjadi dewasa. Kebanyakakan mereka akan menjawab, bahwa mereka akan memilih jadi kecil terus. Menjadi anak-anak.

Boleh.
Mereka boleh saja mengemukakan pendapat, bahwa masa kecil adalah masa yang paling menyenangkan. Masa dimana mereka akan dapat menikmati segenap kasih sayang dari orang tuanya, dilayani, tanpa harus memilih yang benar dan yang salah. Bebas bermain sepnajang hari, dimandikan oleh ibu yang menyayangi dan dibuai oleh ayah setiap akan tidur. Tidak perlu susah-susah memikirkan hari esok, atau memikirkan segala hal, jka ingin sesuatu kita hanya harus minta kepada ayah ibu atau menangis sekerasnya.

Tapi buatku, masa kecilku adalah masa yang indah tapi sekaligus menyesakkan. Lahir pada satu keluarga didesa, dengan tingkat ekonomi yang boleh dibilang lemah, membuatku tidak punya kesempatan mengenyam kebahagiaan berlebih. Maksudku, tak ada mainan pada waktu kecilku yang aku terima dari ayah ibuku. Pada waktu teman-teman sibuk bermain aku akan sibuk di sawah membatu ayah, atau diladang membatu ibu. Jika, anak-anak yang lain membeli jajanan pada masa bermain, aku hanya akan melihat mereka dengan takjub, karena tak punya uang untuk itu. Aku harus belajar pada malam hari, karena kebanggaan yang aku punya, hanya aku adalah seorang yang lebih dikaruniai otak yang lebih encer dari teman-temanku yang lain. Rangking satu, selalu aku dapt dari masa aku kelas satu hingga aku kelas enam sekolah dasar. Kebanggaan yang sekaligus membawa kesediahan, karena semuanya toh tetap tidak berubah. Aku masih harus kesawah, masih harus keladang. Pun waktu penghargaan sebagai siswa teladan se Kecamatan dan Kabupaten aku dapat, posisiku tetap todak berubah.

Hari-hari masa keilku begitu indah. Setidaknya, aku masih punya orangtua tempat aku berlindung, punya ayah yang selalu siap menjadi jagoanku, berotot kawat bertulang besi. Aku adalah manusia yang paling beruntung.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home