Tuesday, December 20, 2005

CERPEN - AKU DAN PACAR KU

Kesalahan terbesar pada diri ku adalah, membiarkan orang ysang sangat menyayangi aku menderita. Setidaknya itulah yang sangat aku rasakan hari ini.

Seorang gadis manis berkerudung putih, yang beberapa bulan lalu aku berjanji padanya untuk saling setia, mengerti akan apa-apa yang aku rasakan, dan akan percaya pada setiap yang aku lakukan, sudah satu dua bulan ini tidak pernah aku hiraukan. Kata orang, aku pacaran dengan dia, si gadis manis itu. Kata orang juga, aku bukan pasangan yang cocok buat dia. Agak lebih pendek katanya, jadi tidak sebanding. Tapi aku maju terus, aku tak peduli. Toh, aku yang akan menjalani, begitu pikirku waktu itu.

Jadilah kisah cinta kami bermula. Mencoba mengukir kembali kisah manisnya Romeo dan Juliet, mengharu birunya Sam Pek dan Eng Tay. Menjalani setiap detik yang kami lewati bagaikan kisah indah dalam novel yang aku berikan kepadanya. Rasanya manis sungguh. Tak ada tiap detik pun berlalu tanpa hati ini menyebutkan namanya. Tak ada satu tarikan nafasku pun yang lewat tanpa menzikirkan namanya. Entah, sudah berapa banyak pulsa telepon yang keluar hanya untuk mendengar suara manisnya. Dan tak terhitung pula berapa banyak sudah telepon ke berbunyi pada tengah malam, yang kemudian kutahu ada namanya muncul pada layar hand phone ku. Untuk kemudian segera aku angkat, karena aku tak secuilpun ingin mengecewakan dia. Penat, letih, kantuk setelah seharian bekerja seakan hilang, dimakan angin malam yang dingin berganti hangat suasana demi mendengar suaranya yang merdu bak seorang penyanyi dangdut yang tadi sore kudengar menyanyi didepan para mentri pemerintahan.

Pekerjaan ku sebagai seorang sales officer pada sebuah perusahaan PMA Jepang, membuat aku begitu sibuk. Berangkat pagi-pagi sekali ketika orang lain masih lelap dalam tidur. Ketika ayam saja masih ada dalam buaian mimpi. Subuh hari, aku sudah bangun, mempersiapkan lembar kerja yang akan aku bawa ke kantor. Dikantor, jangan harap ada waktu untuk telepon ke dia, karena every minutes in my days are account! Kemudian pulang sudah larut malam. Sedangkan jarak antara rumah ku dan rumahnya lumayan jauh.

Minggu buatku adalah hari yang tiadak membuat senang. Kadang kala aku harus masuk kerja pada hari minggu, karena besok harinya aku harus mempersiapkan data yang akan dipergunakan untuk rapat inilah, presentasi itulah dikantor. Jadi, maaf cintaku, tak ada waktu buat mu minggu ini.

Jadilah aku sebagai manusia paling sibuk sedunia. Setidaknya menurut versiku sendiri. Walau kadang pada suatu masa aku masih menyempatkan bertemu dengan teman-teman permainanku, tapi sudah pasti bukan dengan dia. Sudah pasti aku akan menjadi orang paling gila, jika sudah bertemu dengan geng ku. Jadi ada banyak alasan kenapa aku tak mengajak kekasihku pada hari-hari pertemuanku dengan teman-teman. Pada masa itu, aku bisa sangat liar malah. Kami akan saling olok, saling caci, bahkan mungkin tertawa terpingkal-pingkal untuk kemudian saling berangkulan. Aku dan teman-temanku sebetulnya bukan sahabat dari kecil. Beberapa adalah sahabatku ketika kami di SMU. Dan sebagian lagi adalah sahabat, karena kami kerap kali harus ikut pada satu dua pendakian gunung. Dari sinilah persahabatan kami bermula. Beberapa dari mereka mempunyai visi yang sama denganku, sehingga segala urusan akan dapat selesai dengan mudah. Menurutku.

Bener memang apa yang dikatakan oleh seorang pakar pendakian gunung dari luar negeri, jika kamu ingin tahu kadar pertemanan sahabatmu, maka bawalah dia ke gunung. Dan aku sudah membuktikannya. Aku sudah mengetahui sifat teman-temanku dari lebih dekat dari pada seorang guru mengetahui kebadungan murid-muridnya. Atau seperti mahasiswa mengetahui kebobrokan pemerintahnya, dan mengharuskan mereka berdemonstrasi.

Pertemanan yang lahir dari hati, akan berujung pada hati. Begitulah kami. Beberapa memang sudah menikah, tapi masih ….sahabatku. Puluhan gunung se-jawa sudah kami daki, dan persahabatan itu pun semakain dalam terpatri. Aku pernah malah, tiga hari tidak pulang kerumah, karena harus nomaden dari satu rumah-kerumah temanku yang lain, padahal baru-satu dua hari ini aku kenal. Itulah, masa ku yang paling indah.
OoO

Hampir satu bulan aku tidak pernah berkabar kepadanya. Tak ada telepon untuknya, apalagi surat. Padahal setiap hari e-mail akan selalu kukirm buat para klien ku lewat PC ku di kantor. Tapi masih, untuk menulis sepucuk surat, atau sepenggal e-mail buatnya terasa tetap hal yang paling menyesakkan. Lama-kelamaan perasaan itu begitu menyiksa, Rasanya berat nian beban yang aku tanggungkan.

Pikiran jahat ku mulai bertahta, pada sudut hatiku yang paling dalam. Bagaimana cara memutuskan hubungan yang sudah tidak mungkin ku pertahankan. Sejuta alasan sudah kusiapkan manakala aku akan memutuskan benang merah ini. Mugkin itu egiois, atau apalah namanya aku tak tahu. Yang pasti aku harus menemukan cara itu. Aku tidak bisa terus menerus membuat ia menunggu. Telepon dariku, surat untuknya atau imel di inbox nya. Dia, terlalu baik untuk ku, yang tidak pernah tahu akan hari kelam masa laluku. Atau sisi gelap hidupku di masa belum mengenalnya. Yah, aku terlalu naif untuk mencintai seorang gadis yang ternyata dalam hatiku masih ada sejuta batu menghalangi sudut ruangan hatiku buatnya.

Tadi pagi, aku lihat gadis itu lagi, duduk manis dengan setelan warna hijau berkerudung putih. Seandainya aku bisa, mencintainya dengan sepenuh hati ku, sudah barang tentu aku akan mencintainya. Tapi ……..’

Maaf cintaku
Tak ada rindu buat mu hari ini
Tak kan lagi ada cinta buatmu
Hari ini
Semuanya
Sudah aku pendam pada lubang
Kubur
Sepasang merpati yang patah hati
Karena di hianati
Dan membunuh harinya
Dengan cinta yang tersisa
Enam bulan sudah usia hubungan kami. Bukan hubungan seperti orang kebanyakan memang. Prinsip saling percaya dan saling mengerti kesibukan masing-masing membuat ku betah untuk tidak menemuinya satu bulan sekalipun. Telepon tak pernah ku dial kan pada nomornya, Apalagi harus berkunjung kerumahnya. Dulu, aku berusaha untuk berpacaan secara biasa-biasa saja. Maksudnya, aku akan datang kerumahnya pada setiap sabtu malam, kemudian ngobrol sampai jauh malam atau sampai diusir kedua orang tuanya mungkin. Tapi nyatanya tidak. Dan tidak pernah aku lakukan. Batasnya hanya jam sembilan malam. Kadang jam delapan tiga puluh menit aku sudah pulang dengan berbagai macam alasan. Tak ada kendaraan untuk sampai kerumah lah, sudah terlalu malam lah, atau apapun sekenanya. Yang penting aku bisa melepaskan diri dari rutinitas yang –sungguh- membuat aku kaku. Aku beku pada ritual seremonial seperti ini. Bukan, bukan disini tempatku.
Lucunya lagi, aku ingin menciptakan hubungan yang Islami, pikirku. Padahal aku tahu, pacaarn tidak ada yang islami. Hanya pacaran setelah menikah saja yang ada. Berdua-duaan dengan orang yang bukan muhrim, akan menjadi ladang perjuangan setan paling mudah. Dan aku tak mau tentunya demikian. Aku bukan budak setan. Aku bukan budak setan!
Kalian boleh tanya pacarku, berapa kali dia aku cium. Berapa kali tangannya kau gandeng waktu berjalan. Tak pernah ku lakukan. Bukan aku tak mau melakukannya. Aku manusia yang normal. Jika ada kesempatan mungkin aku kan melakukannya. Tapi bukannya aku tidak punya kesempatan, terlalu banyak, mungkin. Waktu aku pergi nonton film kedua kami. Ynag bercerita tentang seorang anak SMU kelas satu, dan berkenalan dengan seorang laki-laki yang baru pulang dari Perancis. Disana kesempatan ku besar sekali. Toh aku tetap bisa menahan diri dengan sukses. Aku juga tidak berusaha menciumnya waktu dia berulang tahun. Malah ku undang semua temanku kerumahnya waktu itu. Sampai-sampai membuat orang tuanya kaget. Melihat anak-anak yang “sableng” berseliweran dirumah mereka. Yang gondrong, yang tertawa sangat keras, yang hobi membual semuanya komplit. Sementara teman-temannya semuanya anak manis yang duduk tersipu malu waktu di tanya oleh kedua orang tuanya. Begitulah ABG menurut ku, waktu itu. Jika didepan orang yang lebih tua akan manut seperti kapas kena air, tapi jikadi luar akan sangat liar seperti burung habis dikurung, dan kemudian di lepaskan.

Walau kami sama-sama telah bekerja, mungkin perbedaan umur yang membuat kami seakan punya jalan sendiri-sendiri. Aku diawal duapuluh lima, sedang dia diawal sembilan belas. Enam tahun perbedaan umur kami. Tapi toh pada awalnya komitmen kami bertemu jua, untuk menjalin satu hubungan yang manis, seperti Rangga dan Cinta, atau seperti Adit dan Tita.
Pacarku.
Gadis manis diusia awal duapuluhan. Tinggi semampai yang sejak bertemu denagan aku menyempurnakan diri menjadi wanita dengan memakai kerudung. Waktu ditanya oleh salah seorang temanku, katanya bukan karena aku. Tapi sudah niat dari dulu, katanya.
Dan aku tak pernah menanyakan kelanjutannya. Karana aku rasa itu adalah privasi, dan buatku itu adalah keputusannya dangan Tuhan yang tak boleh aku campuri. Itu adalah perjanjiannya dengan Tuhan yang telah dia tandatangani dan harus dijaga keabsahannya dan konsekwensinya.
Bekerja pada satu perusahaan dengan ku membuat volume pertemuan kami akan sering. Itulah yang seringkali diucapkan dan dikirirkan oeh teman-temanku. Tapi nyatanya, mereka salah besar. Jumlah pertemuan kami dikantor tidak seperti yang dipikirkan. Malah sangat jauh. Kesempatan ngobrol dan bersenang-senang pada jam istirahat justru sangat jarang bahkan tidak pernah kami lakukan. Aku akan lebih senang berada bersama teman-teman ku, makan pada satu pojok, kemudian setelah selesai kami akan bersendagurau sambil menyalakan berbatang-batang rokok. Kepulan asap dari tiap-tiap mulut akan berbaur, yang menurutku dalah kesenangan paling indah saat makan siang. Ditemani botol-botol teh yang kami beli secara patungan.
Sementara dia, ada pada sisi yang lainnya. Makan dengan manisnya, bersama beberapa temannya. Kecuali pada senin dan kamis, dia selalu menympatkan makan, walaupun secara kilat. Karena pada dua hari itu, yang kutahu dia kan berpuasa. Itulah kebiasaannya pada satu minggu yang sangat lekat pada ingatanku.
Buatku, menjadi pacarnya adalah ambisi dan kebanggaan. Betapa tidak, sejauh yang aku tahu, ada puluhan orang yang antri mendapat jawaban darinya. Salah satunya malah sempat bertanya langsung kepadaku. Katanya, apa dia sudah punya pacar atau belum. Dalam hati ku aku bersukur, ternyata aku menang. Aku bisa mengalahkan dia, padahal secara pisik aku sangat jauh dibandingkan dengan dia. Tingginya hampir seratus tujuhpuluhan, badannya bagus, kulitnya sawo matang, tubunhnya atlestis, menurut versiku. Tapi ternyata aku yang mendapatkan pacarku. Dan dia hanya jadi pecundang sejati yang sampai sekarang masih tersiksa setiap kali melihat kami pergi untuk makan siomay, ditempat favorit kami, disebuah warung sederhana di samping kanan sebuah pusat perbelanjaan yang belum lama ini dibuka dikotaku.

Masalah perhatian, dia tak ada duanya. Waktu penyanyi pavoritku menyelenggarakan koser pada sebuah tv swasta, padahal waktunya sudah cukup malam, dia meneleponku khusus untuk memberi tahukan ada lagu kesayanganku seang dinyanyikan Padahal waktu itu aku sudah duduk masnis didepan televisi dikamarku, ditemani sebungkus rokok dan sepiring penuh keripik singkong. Memang penyanyi yang satu itu aku gilai sampai aku bertekad membeli semua kasetnya yang sudah terbit. Malah pada suatu hari di ulangtahunku, dia membelikan kaset penyayi itu yang ternyata dia tahu aku belum punya. Entah, firasat saja atau tahu dari mana, aku tak pernah tanya. Tapi yang jelas perhatiannya adalah surga buat semua orang laki-laki. Pun halnya dengan buku yang selama ini aku idam-idamkan, suatu hari kuterima dibungkus sampul berwarna hijau – warna kesukaannya- dititpkan pada seorang temanku. Dalam setengah hari buku itu ludes aku baca.

Hubungannya dengan teman-teman ku juga baik. Pernah beberapa kali dia aku kenalkan pada teman-temanku. Pernah aku ajak menghadiri acara kumpul-kumpul club pencinta alamku, atau sekedar main bersama. Respon kedua elah pihak juga sangat baik. Tak ada yang mendiskriminasikannya. Intinya teman-teman ku menerimanya dengan sangat baik. Suatu kali dengan bangga kupamerkan kepada mereka, bahwa ini adalah pacarku. Mereka semua terbelalak. Menganga. Mereka sama sekali tidak percaya pada hal itu. Aku yang tidak pernah memperkenalkan seorangpun didunia ini, dan yang mereka tahu amat idealis, dengan berperinsip bahwa, aku kan punya pacar, tapi sekaligus punya istri, yanga maskudnya aku tak mau pacaran tapi harus langsung menikah, bukan pacaran seperti orang muda kebanyakan, tiba-tiba datang keperkumpulan dan bicara kepada mereka bahwa aku adalah orang paling bahagia saat itu, karena menggandeng seorang perawan manis berkerudung yang aku proklamirkan sebagai kekasihku tercinta. Siapa yang tak akan iri melihatnya. Takjub sekaligus tak percaya, bahwa orang seperti aku akan sangat berfungsi sebagai mahluk pencinta. Mahluk secuek dan seangkuh aku akan menggandeng seorang perempuan di acara pertemuan para pencinta alam. Dan itu adalah aku.

Senja merah di barat
Semburatkan surya terbenam di cakrawala

Gadis manis tertawa
Waktu sepedamotorku membelah malam
Berdua, menyusuri
Jalan panjang melintas pekuburan

Tangan nya mendekap erat pingangku
Matanya turut larut ke depan
Hatinya di hatiku
Dan lalu
Kita saling janji dan setia
Itu, dulu

0 Comments:

Post a Comment

<< Home