Sunday, October 30, 2005

Kisah Keluargaku- Reafa- Hidup Itu Sepi Tanpa Celaan

Kisah Keluargaku- Reafa
Hidup Itu Sepi Tanpa Celaan

Hujan rintik-rintik turun. Langit gelap diluar. Sang raja siang terusir dikudeta oleh petir dan gerimis yang mengejek. Menebarkan sejuk menggantikan panas yang dari tadi pagi menyengat.

Reafa mematikan komputer dan menyelesaikan sisa pekerjaannya. Dia menutup laci meja kerjanya, kemudian menguncinya. Menarik anak kunci dengan gantungan beberapa souvenir gunung-gunung Indonesia, baik yang sudah pernah didakinya, ataupun sekedar oleh-oleh dari teman. Bunyi germerincing sesaat terdengar. Meski kecil,tak ayal membuat teman sebelahnya mengengok.

“ Dah mao pulang lu, Fa? Tumben gini hari? Mao kemana lu” kata Acil, teman sekantornya.
“ Mao tahu ajaa….!” Reafa menimpali. Seraya meninggalkan ruangan. Cuek dengan Acil yang menggerutu panjang pendek buat dia.

Angin sepoi membelai wajahnya. Hawa sejuk pendingin ruangan berganti dengan hembusan yang lebih sejuk made in Sang Pencipta. Reafa memejamkan matanya sejenak. Kemudian megusap mukanya. Tetesan air dari langit menciptakan irama monoton yang indah. Reafa mengenakan jaketnya. Hari ini ia sengaja pulang lebih cepat, karena ada sesuatu hal. Sebuah urusan yang menurutnya penting tidak penting. Dibilang penting, tapi disana ia hanya akan berjumpa beberapa kawan barunya dari sebuah komunitas pencinta jalan-jalan, yang sebenernya bertentangan dengan mereka yang rata-rata pendaki gunung. Untuk kemudian makan minum seadanya. Ditempat yang pernah di olok “tidak manusiawi” oleh yang lain.
Dibilang tidak penting, tapi ia akan mendapatkan kebahagiaan jika berkumupul dengan mereka. Mereka yang sangat perhaitan. Solider. Setia kawan. Dan yang penting ada yang selalu membuat suasana segar. Tapi disana ia selalu di cela. Jadi bahan olok-olok.

Reafa memicingkan matanya, seolah hendak menghentikan laju pikirannya. Yah, menganalisa kembali apa keuntungan dan keburukan berkawan dengan manusia-manusia yang sangat doyan bercanda, mengolok sesama, atau kalau yang paling parah jika sudah mengeluarkan umpatan-umpatan yang ada dikepala mereka masing-masing. Rasanya, cuma ia yang selalu di olok. Entah, apakah itu disayangi atau memang hati mereka semua tertutup untuk melihat hatinya.

Reafa tersenyum.

Sudahlah, pikirnya. Ia akan tetap datang. Meski hujan dan sejuta perkataan yang membuat telinganya sakit akan ia terima dan akan selalu ia makan sambil tidur. Dimasukkan kedalam lemari besi diotaknya,kemudia dikunci hingga tak ada yang tahu atau berusaha mencuri. Cukup ia yang merasakan perasaannya. Dia dan seorang lelaki dalam lamunannya.

Ah, kenapa ia selalu dibuai perasaan. Kenapa ia selalu menganggap lelaki itu suka kepadanya. Pria yang di mata Reafa begitu sempurna. Gagah, mapan dan yang penting, hoby nya sama dengan mereka. Naik gunung, titik. Jika semua itu sudah terangkum jadu satu, nampaknya semua hal dambaan kaum wanita menjadi absurd buatnya. Dia tidak akan peduli pada kulit yang putih, atletis, rambut ikal atau lurus dan lainnya. Yang ada diotaknya hanya jika sudah menjadi seorang petualang, buatnya sudah cukup. Cita-citanya kelak adalah membawa keluarganya, suami dan anak-anaknya kelak, mendaki puncak pangrango dan Semeru di Jawa Timur.

Menyadari semua itu, hatinya miris. Kenapa pikiraannya selalu dihantui perasaan itu. Aku hanya bertepuk sebelah tangan, batinnya menggumam lirih. Sudahlah, jangan dibuat persahabatan yang manis ini ternoda hanya gara-gara hati yang belum bisa disatukan, batinnya kemudian.

Hujan menyisakan rintik-rintik kecil diluar. Tetesannya sudah tidak sehebat tadi. Genangan air nampak membanjiri beberapa lubang dijalan yang memang sudah banyak yang bolong. Kadang terciprat dengan keras kesamping jika sebuah sepeda motor atau mobil melindasnya. Pemandangan biasa yang mengasikan untuk diamati. Diseberang jalan sana, deretan warung-warung penjual makanan masih tidak terusik hujan sepertinya. Lalu-lalang pembeli, kadang bisa bertambah disebabkan hujan. Sebentar lagi magrib. Jadi ia harus bergegas pergi.
Lembayung sore bermain dengan manisnya bersama pelangi. Goresan warna-warna spektakuler yang sampai saat ini masih menjadi sesuatu yang sangat indah dimatanya. Pikirannya menerawang jauh kekampung halamannya. Dulu, ia sering kali betah berlama-lama berhujan-hujanan diatas bukit kecil belakang rumahnya, karena ingin menyaksikan pelangi sesudahnya. Dan ia akan selalu jadi yang pertama dan terakhir disana.

Reafa mengeluarkan motornya dari parkiran. Memakai jaketnya dan mengenakan helmet putih pemberian dealer tempatnya membeli motor. Motor baru. Desain sporty dengan warna yang menarik.

Dipacu motornya melintasi jalan basah sore itu. Dia tidak boleh terlambat, pikirnya. Kalau tidak mau dijuluki Miss Late. Ini kesekian kalinya Reafa berkumpul dengan teman-teman barunya. Teman-teman yang selalu mengisi hari-harinya, entah dengan email japri atau YM. Beberapa taman yang beberapa bulan ini mengisi hari-harinya. Mengisi kebisuannya dahulu.

Reafa memacu sepeda motornya melintasi jalan-jalan protocol ibu kota yang mulai ramai. Kesibukan sore hari Jakarta. Bus-bus mulai diserbu para penumpang yang akan mengantarkan mereka pulang. Setelah seharian bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Udara dingin bercampur dengan polusi dari knalpot-knalpot yang meraung-raung. Macet sudah terjadi dibeberapa ruas jalan. Sementara beberapa polisi berusaha menjalankan tugasnya mengatur lalu lintas yang semakin padat.

Mengatur lalu lintas? Pikir Reafa.
Mereka hanya mencari sampingan pengasilan. Lihat saja beberapa menit lagi, pasti ada satu dua penumpang sepeda motor yang apes. Bukan karena mereka melanggar peraturan lalu lintas. Tapi tepatnya mereka apes. Sehingga dupuluh sampai limapuluh ribu rupiah harus berpindah tangan dalam jepitan tangan atau diselipkan dalam STNK. Entah kebobrokan personal, atau memang borok menahun dari dulu. Sampai saat ini pun ternyata masih banyak yang meragukan hal itu. Raeafa membatin.

Telepon genggamnya berdering. Vibratenya mengagetkan dia yang sedang berkonsentrasi diatas sepeda motornya. Biarlah, pikirnya. Nanti saja di cek, siapa yang menghubunginya tadi. Toh, dalam hitungan kurang dari seperempat jam ia akan sampai di lokasi tempat mereka biasa bertemu.

Senayan masih belum terlalu ramai. Jam baru menunjukkan setengah tujuh. Meski begitu, seiring dengan merangkaknya malam, kegiatan di ring road Senayan akan melaju. Beberapa remaja melewatinya dengan tawa keras dari dalam mobil. Jendala mereka dibuka. Borjuis. Batinnya. Dia memacu motornya pelan-pelan. Rodanya meninggalkan sebiah garis panjang basah. Tanpa putus.

Dalam beberapa menit, Reafa sampai di meeting point mereka. Pintu tujuh senayan. Tempat segala macam aktivifas malam berlangsung. Dari aerobik, lari, sampai hanya untuk nongkorng dan kongko-kongko seenaknya.

Beberapa pedagang mendoan sedang melayani pembelinya. Mereka adalah penghuni tetap disana. Beberapa penjual minuman dan kopi juga ada. Deretan mobil-mobil yang diparkir sudah mulai ramai. Dentuman house music dari dudut Senanya membuahkan suasana hingar bingar. Ring road sudah mulai nampak menggeliat. Beberapa perempuan cantik sudah berteriak-teriak mengajak yang lain untuk ikut aerobic. Olahraga gratis yang sangat diminati kaum perempuan disini. Meski kadang ada beberapa lelaki macho juga ikut meramaikan.

Reafa memandang kesekitar. Matanya menyapu semua tempat disana. Mencoba mengenali teman-temannya dikeremangan malam dan lampu-lampu pintu tujuh yang “tidak manusiawi”.

Keraguan mulai membuncah dalam hatinya. Rasanaya ia ingin pulang saja. Ingin meninggalkan tempat ini tanpa bertemu dengan mereka. Pikirannya selalu bertanya, celaan apa lagi yang akan dia teriam hari ini. Dia duduk dipinggir ring road.

***
“ Gua Reafa,” katanya singkat memperkenalkan nama.
“ Oh..ini yang namanya Reafa. Ya, ampun. Baru sekarang yah bisa ketemuan. Apa kabar?”

Seorang perempuan berbaju biru terus saja nyerocos. Memang, mereka lebih akrab didunia maya, karena intensitas yang perbincangan yang cukup sering di Millist auat chat YM. Reafa menebarkan senyum dan menyalami setiap orang yang ada disana. Mereka bergantian menyebutkan nama. Meski tahu, ia akan lupa, ia hanya ber “oo-oo” saja. Atau mengulang nama mereka sedapatnya. Pura-pura menghapal satu-satu. Tapi percuma saja. Yang menyebutkan nama sudah lebih dari lima belas. Bagaimana ia bisa menghapal segitu banyak nama dalam waktu beberapa detik. Otaknya berpikir keras.

Sebagai orang baru dikomunitas, dan dipercaya menjadi salah seorang panitia, dia harus bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Jika tidak, bagaimana bisa ia berkoordinasi dengan seksi yang lainnya. Untunglah ada beberapa yang dia kenal. Jadi ia tidak merasa sangat terasing. Meskipun belum akrab betul, tapi minimal mereka pernah berinteraksi dengan dirinya lebih dulu, hingga perasaan canggung akan lebih mudah mencair.

Acara malam itu diisi dengan paparan tentang kegiatan yang akan dilaksanakan. Intinnya dalah berkemah bersama disatu daerah di Bogor. Acaranya sendiri masih beberpa bulan. Tapi persiapan sudah harus diatur sedemikian rupa, sehingga nantinya tidak ada yang merasa dikecewakan. Atau merasa rugi dengan kegiatan tersebut. Hebat, pikirnya. Semuanya begitu detail dan terinci. Semuanya nampak sempurna. Batinnya. Dan itu pula yang membuat keinginannya untuk cepat-cepat pulang menjadi tertunda. Ia ingin mengenal mereka lebih jauh. Akhirnya Reafa memutuskan untuk bergabung dengan mereka, untuk sekedar ngobrol.

Celoteh-celoteh akrab mulai keluar masuk telinga Reafa dengan santai. Tapi kenapa kemudian dia yang selalu jadi kambing hitam. Jadi bahan olok-olok, hingga semua yang ada terpingkal-pingkal. Dia hanya bisa tertawa dengan menyimpan dalam-dalam sebuah perasaan dalam dirinya. Menumpuk dan menggunung. Dengan tidak bisa dikeluarkan atau diluapkan. Dari sanalah Reafa kemudian berusaha mengubur perasaan itu. Mengubur keegoan dirinya untuk selalu diterima, tapi menganggat tingi-tinggi toleransinya untuk bisa menerima. Ia belajar banyak dari peristiwa malam itu. Bahkan, sampai suatu ketika julukannya berubahpun, dia tenang saja. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan semuanya.
***
Hentakan muskik keras membuyarkan lamunannya. Matanya terus mencari-cari dimana teman-temannya berada. Hingga ia melihat dikejauhan seorang peremuan melambaikan tangannya. Reafa tersenyum. Dilihatnya ada dua orang lagi sudah duduk disana. Mereka nampaknya sedang asik sekali bercakap-cakap.

Salam hangat langsung menggema dari semua orang. Menanyakan kabar, naik apa, sudah makan belum, dan perkataan basa-basi lainnya. Tapi bersamaan dengan itu semua, tangannya sudah mulai bergerilya menyabar sepotong mendoan dan sebotol air mineral. Tawa canda mereka terdengar lepas. Bulan sehabisa hujan menyaksikan keakraban mereka. Hingga larut malam.

“ Mas Bongkeng kemana sih, dah hampr jam sepuluh belom dating, “ katanya.
“ Nggak tahu! Tadi sih ngomongnya mo kesini. Tapi dia ada urusan dulu katanya,” jawab yang lain.
“ Ah…tarohan. PAsti dia lagi beduaan sama perempuan. Makan atau nongkrong di cafee,” timpal yang lain.
“ Nggak mungkin. Paling masih di kantor. Dia kan gile kerja,”
“ Ah, bukannya dia gila perempuan juga?’ ujar Reafa yang disambut dengan tawa keras teman-temannya.
Sukurlah, hari ini aku tidak jadi bahan lagi, batinnya.

“Ya udah. Gua telpon lagi deh,” yang lain mencoba meyakinkan,” kalo emang dia nggak mao dating, kita pulang aja,” lanjutnya kemudian, seraya menekan tuts angka pada HPnya.

“ Nyambung?” tanya Reafa
“ He’eh,”

Kemudian hening.
“ Woy …! Kemana aja sih, nggak nongol-nongol? Katanya mo ke senayan. Ni anak-anak dah pada bulukan cuman nungguin lu doan. Dasar kampret gemblung! “
Suara itu membahana seakan memecah keheningan malam pintu tujuh. Semuanya kaget. Disangka ada insiden bom.
“ Awas kalo sampe nggak. Kita dah nunguin ampe belumut, lu enak enak pacaran. Cepet!” lanjutnya.
“ Apa?”
“ Nggak kedengeran! Apa,”
“ Halo…haloo! … Tuttt“
Telepon terputus.

“ Gimana? “
“ Iya dia dating!”

Reafa membetulkan duduknya. Mencoba memahami apa yang terjadi. Bagimana mungkin dia bisa terjebak dalam komunitas ini. Komunitas orang gila yang senang sekali jalan. Terjebak? Bukankah dia juga menikmati itu. Menikmati dicela. Menikmati keluyuran malam. Meski sampai rumah haru hampir pagi atau kas yang kebobolan setiap bulan.

Ah..pasti semua akan ada hikmahnya. Kini hanya harus menunggu seorang lagi datang. Artinya. Jatah tidurnya malam ini akan berkurang beberapa jam lagi.

**

1 Comments:

At 2:47 AM, Anonymous Anonymous said...

mungkin begitu ya. hidup itu sepi tanpa celaan. :)

 

Post a Comment

<< Home