Saturday, October 29, 2005

Cerpen- Ariel, Biarkan Kereta Itu....

Ariel,
Biarkan Kereta Itu Berlalu

Sudah lebih dari satu jam Ariel duduk di sana. Deretan kursi panjang yang terbuat dari besi, yang mungkin umurnya sama dengan dirinya. Berbaur diantara lalu-lalang penumpang dan kesibukan luar biasa menjelang lebaran tahun ini. Separuh masyarakat Jakarta yang memang kaum urban, memang akan menempuh berbagai cara untuk dapat mencurahkan rindu kepada keluarga dan sanak famili di kampung halaman. Setahun sekali mencurahkan segala kebahagian untuk berumpul dan sekedar berbagi dengan keluarga. Meski mereka harus membanting tulang bekerja keras dalam sebelas bulan sebelumnya, tapi tak ada yang lebih menggembirakan daripada pulang kampung.

Ariel menghela nafas panjang. Kemudian berdiri sekedar melemaskan otot-otot punggungnya yang terasa mulai kaku. Diletakkan nya majalah yang dia beli hanya untuk mengusir rasa isengnya karena menunggu. Sifat konsumtif. Yah, membeli sesuatu yang tidak perlu hanya untuk kesenangan sesaat. Berkali-kali badannya yang jangkung tersambar lalu-lalang orang yang hilir-mudik. Entah tas mereka, entah pula tertabrak. Dan dia hanya bisa menghela naas panjang. Deretan kursi-kursi masih dipenuhi para penumpang. Kesibukan luarbiasa yang membuat perutnya sedikit mual.

Untuk kesekian kali, dihempaskan pantatnya pada bantalan kursi keras di stasiun. Matanya masih tidak lepas dari memandang deretan pedagang-pedagang yang menghabiskan separoh dari jumlah peron untuk menjajakan dagangannya. Ingatannya menerawang jauh. Mengingat pertama kali dia datang ke kota ini. Ibunya mengantarkannya sampai stasiun Jatinegara. Yah, disini. Dikursi yang sekarang diduduki ini, duapuluh tahun yang lalu ia diantar ibunya menginjakkan kaki pertama kali ke Jakarta. Mengadu peruntungan dan menimba ilmu di kota yang kata orang, penuh dengan cahaya gemerlap kesuksesan. Meski hari ini, ia mengecap semuanya, tapi ternyata separuh masa hidupnya masih selalu membuat dia bertanya. Kehidupan dan jabatan yang dianugrahkan kepadanya lebih dari cukup. Manager Akunting sebuah perusahan jasa multi nasional. Sebuah jabatan yang sangat prestise. Bergengsi dan pastinya diidam-idamkan sebagian orang didunia ini. Namun ada selalu secarik gundah mendera hidupnya yang mapan.

“ Hati-hati di Jakarta, Riel. Pandai-pandailah kamu menjaga diri. Jangan lupa shalat, belajar yang tekun dan jangan lupa kabari ibu,”
Ariel menggandeng lengan Ibunya yang sudah mulai menua, mendengarkan setiap petuah dan wasiat yang kelak akan selalu memotivasinya melangkah lebih maju.
“ Iya, Bu. Ibu juga doakan Ariel, supaya bisa berhasil di Jakarta,” timpalnya.

Ibunya membelai rambut Ariel dengan mesra. Kemudian mereka duduk dikursi tunggu stasiun Senen. Ibu menatap anaknya dengan perasaan haru. Diusianya yang baru enambelas tahun, ia harus merantau ke Jakarta mengadu nasib dan peruntungan.

“ Ini alamat seorang kenalan ibu. Kamu carilah, “ ucapnya kemudian seraya mengeluarkan secarik kertas usang, “ jangan lupa, sampaikan surat ini juga ke pada beliau, bilang kamu anak ku, mudah-mudahan meraka mau membantumu,” lanjutnya.
Ibu memandang Ariel dengan lembut, air matanya menetes. Tangannya tak henti-henti meremas rambut hitam Ariel. Ini adalah perpisahan yang berat. Ariel merasakan emosinya meledak, membumbung keangkasa untuk kemudian tumpah membuncah kedasar bumi. Amblas. Tak ada sepatah katapun mampu keluar dari mulutnya. Emosinya diaduk-aduk. Tapi sebagai lelaki, pantang baginya menangis di usia enam belas.

Pada hari yang sama pula, Ibunya kembali pulang ke Surabaya. Setelah meninggalkan bekal uang dan segala sesuatunya. Ariel duduk termenung sampai larut malam hari itu. Membayangkan ibunya yang sudah merangkak senja berjuang sendirian diatas kereta ekonomi dari Jakarta ke Surabaya. Air matanya menetes.

Areil melangkah perlahan. Desau angin malam itu membelai wajah kumalnya yang belum tersentuh air dari kemarin. Langkahnya teratur saru-satu, seolah menghitung jumlah balok-balok ubin yang berwarna kelam. Sekelam hatinya yang selalu gundah mengenang ibunya. Terlintas lagi wajah ayah yang sudah setahun lalu berjuang keluar negeri, menjadi TKI dan kemudian harus dihukum gantung, karena dianggap sebagai pekerja gelap. Anak beranak itu hanya bisa menangis dalam gubuk kecil mereka tanpa tahu harus kemana mengadu. Dan jasad nya pun, sampai saat ini entah dimana berada, karena janji pemerintah yang akan memulangkan jenasah ayahnya, toh sampai setahun ini tidak pernah terlaksana. Akhirnya mereka hanya bisa pasrah. Mungkin keterbatasan ekonomi dan yang lainnya. Birokrasi, sialan. Cuma itu yang bisa di ucapkan Ariel waktu itu, disela isakan ibunya.

Remang lampu-lampu jalan malam itu diterobosnya. Debu-debu yang tergilas ban mobil yang berlalu-lalang di jalan itu menyisakan udara sesak yang terpaksa harus hinggap menjadi bahan tumor di paru-paru. Belum lagi polusi asap dari knalpot kendaraan yang menyisakan karbon hitam, yang konon membuat lapisan ozon semakin tipis. Berkali-kali Ariel menutup hidungnya. Wajahnya sudah penuh berminyak. Dia meneruskan langkahnya mencari alamat yang tertera di kertas pemberian Ibunya. Cipinang. Cuma itu yang dia bisa tangkap. Dengan keberanian dan keinginan yang besar, langkah-langkahnya terpacu kesana. Meski lapar yang sudah sejak tadi mengaduk-aduk isi perutnya, tapi semuanya disingkirkan. Sebotol air mineral pemberian ibunya masih setengah. Diteguknya sedikit, untuk sekedar menyejukkan dahaganya. Meski harus terus berbohong kepada perutnya. Nanti jika ia sudah sampai di rumah kenalan ibu, ia akan di beri makan dan akan bisa mandi sehingga pusa. Seperti yang biasa ia lakukan di kota asalnya.

Lewat tengah malam, alamat yang dicari berhasil dia temukan. Nama pemilik rumah pun masih sama. Tapi ternyata angan-angannya. Setelah membaca surat ibunya, si pemilik rumah mengatakan ia tidak bisa menampung Ariel di rumahnya. Karena ini juga rumah kontrakan, dan anak-anaknya juga banyak. Jadi tidak ada ruangan kosong buat dirinya. Kemudian si pemilik rumah kenalan ibu, menunjukan satu alamat dimana ada kontrakan kosong.

Betapa remuk hatinya. Pupus sudah harapan untuk bisa tidur malam ini dengan nyaman. Karena tidak tahu apa-apa di Jakarta, Ariel memutuskan untuk kembali ke Jatinegara. Pikirnya, dia akan pulang saja ke Surabaya dari pada hidup menggelandang disini. Alunan musik keras membahana dari kios penjual kaset-kaset bajakan. Sebuah lagu sahdu Ebiet G Ade, Ayah maafkan Anakmu. Ah..Ingat rasanya ia selalu dinyanyikan lagu ini oleh ayahnya. Ariel duduk di kursi perpisahan dengan ibunya. Menyandarkan seluruh penat yang berkecamuk. Melepaskan sepatunya dan mencba memejamkan mata. Tapi pikirannya melayang, entah kemana. Hatinya gundah. Batinnya gulana.

Dimana ibu sekarang, batinya. Apakah ibu selamat sampai Surabaya, atau..!
Ah.
Dikibaskan tangannya didepan wajah kumalnya. Seolah menepis gundah hatinya yang selalu bergemuruh. Sekarang, ia hanya ingin tidur. Melenakan dirinya sejenak untuk bisa berfikir jernih hari ini.

Ariel membuka matanya perlahan. Menikmati udara pagi yang sama sekali tidak sejuk. Tapi toh disini dirasanya lebih bersahabar ketimbang Surabaya kota kelahirannya. Matanya menangkap beberapa orang yang sama dengannya. Tidur dipinggiran peron atau meringkuk di kursi-kursi tunggu penumpang. Meski matahari sudah sepenggal galah, tapi mereka masih dibuai mimpi indah akan Jakarta. SAma dengan mimpinya barusan. Hey, ia baru sadar kalau ia tertidur barusan. Meski mungkin hanya sekejap. Perutnya menagih minta diisi. Di pegang perutnya. Kali ini, ia tidak sanggup lagi berbohong, bahwa ia lapar. Ariel baru ingat bahwa dua hari yang lalu, ia makan bersama ibunya dimeja makan mereka. Di Surabaya. Dan sejak itu, tak ada sesuap nasipun masuk ke perutnya.

“ Permisi mas, “
Sebuah suara membuyarkan lamunan Ariel. Sesosok perempuan setengah tua berdiri didepannya. Menggendong anaknya. Mereka sama-sama lusuh.
“ Tolong, mas. Kami belum makan dari kemarin. Tolong, mas.”

Ariel meringis. Ditatapnya anak-beranak itu lekat-lekat. Ia ingat ibunya. Dimana beliau sekarang, batinnya. Ah..tapi hari ini bukankah ia sedang menunggu kedatangan orang yang paling disayanginya. Meski hatinya selalu mengutuk, kenapa bukan ia saja yang pulang ke Surabaya. Kenapa justru ibunya yang renta dia biarkan berkelana sendirian dengan kereta api. Meski semua kebutuhan hidup ibunya sudah ia kirimkan lewat transfer bank. Toh, ia masih belum bisa mengerti, kenapa egonya masih menginggi di usia nya yang sudah tidak muda lagi.

“ Mas! Tolong mas. Kami belum makan,” si perempuan mengulangi ucapannya.

Ariel tersentak. Dia merogoh saku celananya. Dikeluarkannya selembar lima puluh ribuan dari sana, dan diberikan kepada pengemis perempuan itu. Ariel kemudian mengajak keduanya duduk dan bercakap. Betapa hatinya semakin ingat ibunya, ketika tahu ternyata mereka berasal dari tempat yang sama. Ariel mendengarkan setiap ucapan si ibu dengan seksama. Betapa mereka berdua tidak mempunyai siapa-siapa semenjak suaminya pergi meninggalkannya, entah kemana. Ah, perih nian. Untuk akhirnya ia memutuskan berangkat ke Jakarta untuk mengadu nasib. Yah, mengadu nasib sama dengan ku, batin Ariel. Bedanya, aku menelantarkan ibuku.

Ariel menarik nafas panjang. Melepaskan langkah anak beranak itu dengan ekor matanya, sampai menghilang di balik kedai makan sebuah warung di stasiun.

Dia melirik jam tangannya. Tiga jam berlalu sudah. Tapi kereta yang membawa ibunya belum juga datang. Atau mungkin terlambat. Ah, bukankah keterlambatan kereta api itu adalah sebuah hal yang biasa di sini. Jadi tidak ada yang pasti. Apalagi untuk kelas angkutan rakyat semodel kereta api.

Serangkaian gerbang kereta memasuki peron. Suasana hingar bingar bertambah parah. Kesibukan luar biasa. Kuli-kuli angkut berlarian menuju pintu-pintu kereta yang memang terbuka. Dan tidakpernah tertutup. Ariel bergegas mengikuti kerumunan orang. Matanya mencari-cari sosok ibu yang sudah lebih lima belas tahun ia tinggalkan. Yah, lima belas tahun yang hanya dia sapa lewt surat-suratnya. Yang sekian lama itu harus melewati kesendirian dalam menjalani hari tuanya.

Menit berlalu. Tapi, sosok itu takjuga tertangkap matanya. Hatinya mulai resah. Apakah ibunya tidak datang hari ini. Atau memang ada hal. Atau….

Seribu pertanyaan berkecamuk dalam dada Ariel.

“ Ariel!”
Seseorang memanggil namanya. Darimana orang itu tahu namaku,pikirnya.
“ Saya Mulyono. Pamanmu. Adik ayahmu. Ibumu yang menyuruh saya kesini, “ lanjutnya tanpa memperdulikan Ariel yang masih tidak mengerti. Seingatnya, ibu tidak pernah bercerita tentang saudara dari almarhum ayahnya. Bagaimana ia bisa percaya begitu saja.
Seperti mengerti, lelaki itu mengeluarkan foto Ariel dari dalam tasnya. Foto yang dikirimkan kepada ibunya beberapa bulan yang lalu. Bagaimana bisa ada bersamanya, batin Ariel.

Lelaki itu mengapit tangan Ariel keluar. Dan berdua mereka bergegas menuju mobil Ariel yang diparkir diluar.

“ Ibu kemana, Paman? Kenapa beliau tidak datang. Apa ibu sakit?”
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Ariel kepada pamannya membuat ia semakin yakin, bahwa ada apa-apa dengan ibunya.
“ Ariel, maafkan paman. Sengaja semua peristiwa ini paman rahasiakan. Ini adalah kesepakatan dari semua keluarga, termasuk ibumu. Ketika beliau mengantar mu ke Jakarta lima belas tahun yang lalu, kami semua sudah sepakat, untuk menjemputmu pulang. Berapa usiamu sekarang?”
“ Tiga puluh satu, paman.”
“ Sudah menikah?”
Ariel menggeleng.
Pamannya menarik nafas dalam.

“ Ariel,” lanjutnya, “ sepulang dari Jakarta, Ibumu jatuh sakit. Tapi dia tidak mau membebani perasaannu. Jadi ia menitipkan pesan kepada kami semua, agar tidak memberitahukan kepada mu. Dan jangan menjemputmu.
“ Lalu? Bagaimana ibu sekarang?”

Mulyono menghela nafasnya. Membetulkan letak duduknya. Menatap jauh kedepan. Kearah jalan didepannya yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan.

“ Ibumu, sakit berhari-hari. Dan…” Mulyono tercekat.
Ariel menoleh. Melihat perubahan pada wajah pamannya.
“ Ibumu tidak bisa tertolong!”
Ariel terbelalak. Dipinggirkan mobilnya. Ia menangis.
“ Maafkan paman. Ini amanat dari ibumu. Itulah sebabnya selama ini kami tidak pernah menyuratimu.” lanjutnya.

Mulyono bercerita sepanjang perjalanan. Ariel baru tahu kalu ibunya sengaja menitipkan nya kepada kenalannya di Jakarta, meski Ariel terusir dan harus mengontrak sebuah petak kemudian. Berjualan koran untuk makan dan keperluan sekolahnya. Ibunya menginginkan Ariel menjadi orang mandiri dan sukses, Jika ia terus di Surabya, pastinya ia tidak akan maju. Ibunya tahu, betapa ia akan melakukan apa saja buat ibunya, bukan untuk sekolahnya. Hingga akhir hayatnya, ibunya selalu berharap agar Ariel baik-baik saja. Betapa ibunya selalu menghrap Ariel menjadi orang sukses dan bisa dibanggakan.

Jejeran kursi tunggu penumpang di stasiun Jatinegara masih sama persis dengan minggu kemarin. Ketika ia menjemput ibunya, tapi kemudian berubah cerita. Seminggu kini sudah. Sekembalinya dia dari Surabaya sore hari itu, untuk berziarah kemakam ibunya, ia menangis sekerasnya. Menyesali semuanya yang terlambat.
Selembar kertas yang dia terima dari pamannya, dibukanya. Sebuah surat. Matanya meremang.
Ibunya bertanya, apa dia sudah punya cucu, sekarang.
Ariel gamang. Seperti ada ribuan ton beban menghantam kepalanya saat ini. Diusainya yang sudah tidak muda, ia masih melajang. Menikmati gemerlap kehidupan Jakarta. Seakan lupa kepada kodrat yang dititahkan Tuhan kepadanya. Bukan tidak mampu. Entah, dia menggeleng. Ariel juga sudah lupa sudah sejak kapan dia tidak lagi sholat.

Ariel, biarkan kereta itu lewat. Masih ada gerbong yang akan membawa mu kesana, batinnya.
Ariel diam. Menatap lantai stasiun.
Kosong.

Boim Akar
28 Oktober 2005

1 Comments:

At 8:13 AM, Anonymous Anonymous said...

This comment has been removed by a blog administrator.

 

Post a Comment

<< Home