Tuesday, December 20, 2005

Cerpen- Emak

Oleh : Boim Akar

Aku memabanting tas kerja ke tempat tidur. Kurasakan udara sore masuk lewat daun jendela yang masih separuh terbuka. Aku menyingkap gordain hijau yang mulai lusuh, membiarkan udara segar masuk dan membelai wajahku yang belum tersentuh air mandi. Pemandangan sore yang tak pernah aku saksikan setelah lima hari bertualang. Bau kamar yang mulai pengap, debu-debu yang memenuhi setiap sudut ruangan kecil tiga kali empat meter, serta ada belasan kaset yang terserak diatas meja kecil disudut ruang tidur. Suasana yang selalu dan selalu membuat aku rindu. Meski jauh dari kesan baugus, kamar ini telah banyak sekali melihat aku. Menyaksikan aku dengan tanpa pernah marah atau berduka.

Sudah lima hari aku tidak pulang. Rasanya, kenyamanan ruang dekil ini selalu menghantui setiap malam ku kemarin dan kemarin lalu. Meski berantakan, toh tetap saja aku akan betah berlama-lama mendengarkan alunan instrument dari seorang musisi besar Indonesia yang aku sukai. Atau berlama-lama membaca buku-buku yang aku deretkan disamping tempat tidur. Ada kenikmatan sendiri aku rasakan. Dalam ruang sempit ini, aku besar dan berkembang. Masa SMA dulu, aku sering kali mengunci diri disini. Merenungi gambar gadis-gadis manis dari majalah setengah telanjang yang aku dapat dari teman. Belajar merokok. Atau menyaksikan film dewasa untuk pertama kalinya. Disini, aku menangis waktu pertama kali diputuskan pacar pertamaku. Mengurung diri dan menguncinya dari dalam, hingga Emak harus tiap menit mengetuk pintu kamarku, untuk sekedar mengingatkan waktu sholat dan makan.

Emak? Aku tercekat. Pikiranku mendadak melayang jauh, untuk kemudian terhempas keras menembus aspal pekat jalanan. Melesak kedalam dan semakin dalam.

Dari semenjak pulang tadi, kenapa aku tidak melihat ibuku? Aku bergegas keluar dari kamarku. Menutup pintunya dan berjalan cepat. Melewati pintu tengah dan melompati tempat sampah yang diletakkan di sisi tengah tembok. Di meja makan, sudah tersedia nasi putih yang belum di sentuh. Sepiring tempe goreng dan semangkuk besar sayur bayam dengan jangung manis kesukaanku. Ada lalapan dan sambal yang rasanya akan membuat siapapun tidak akan rela beranjak dari meja makan dengan tergesa. Namun taku jua kujumpai perempuan lebut setengah baya itu. Aku beranjak ke sumur, tempat ibu biasa mencuci piring dan pakaian. Tapi, mana mungkin sesore ini ibu masih mencuci, batinku. Kubuka pintu belakang yang menghubungkan dapur dengan halaman belakang. Tidak ada.

Dengan perasaan gulana, aku kembali kedepan. Berharap ia sudah duduk diruang tivi sambil menyaksikan berita sore, seperti yang setiap hari dilakukannya. Biasanya aku akan bermanja-manja dalam pangkuannya. Duduk disebelahnya untuk kemudian menyandarkan kepalaku pada pangkuannya.
“ Kamu itu sudah besar, Wan. Umurmu sudah duapuluh empat tahun. Sebentar lagi kamu menikah, tapi kelakuanmu masih saja seperti kamu waktu SD dulu,” Emak menggumam sambil membelai rambut ikalku.
Matanya masih lekat menyaksikan berita sore di televisi. Aku yang baru saja pulang, duduk disampingnya kemudian merebahkan kepalaku pada pangkuannya. Tangannya yang mulai keriput membelai pipiku. Kasar.
“ Nggak apa-apa dong, Mak. Sama ibu sendiri ini. Kalo Wawan tiduran di pangkuan ibunya orang, baru Wawan malu. Kalo sama ibu sendiri, ngapain malu, “ jawabku enteng.
Ibu tersenyum dan tertawa kecil. Pipiku kembali diusapnya pelan.

Aku terhenyak. Bayangan peristiwa beberapa minggu yang lalu itu membuat aku kembali tersadar betapa tulusnya Emak mengasihiku. Semenjak Bapak meninggal dua puluh tahun yang lalu, aku memang bergantung sepenuhnya kepada Emak. Meski harus merelakan separuh dari warisan yang Bapak tinggalkan untuk membiayai sekolah dan kehidupan kami. Sebagai anak semata wayang, aku masih belum terlalu paham apa arti kematian saat itu. Yang aku tahu, hanyalah Bapak tertidur, kemudian semua orang menangis, termasuk Emak yang beberpa kali pingsan, ada orang mengaji, dan yang lain-lainnya menyalami Emak. Datang dan pergi. Setelah itu, semuanya berjalan seperti biasa. Rumah kami kembali sepi. Yang aku tahu, Bapak pergi dengan cara yang sangat aneh. Dibungkus. Kemudian tidak pulang hingga sampai saat ini. Barulah menjelang akil baliq aku tahu dan mengerti, bahwa Bapak telah meninggal. Menghadap Rabb nya untuk kekal selamanya disana.

“ Bapak sudah berbahagia disana. Disuatu tempat yang di janjikan Tuhan, bernama Syurga. Wawan sayang sama Bapak?” katanya suatu saat, ketika aku bertanya kenapa Bapak tidak pulang-pulang, “ kalau Wawan sayang sama Bapak, maka doakan Bapak setiap Wawan habis Shalat, yah,” jujar Emak tenang.
Jelas sekali ada aliran keteguhan dan ketabahan disana. Matanya yang sayu sedikitpun tidak meneteskan air mata. Kata-katanya tenang namun berwibawa. Aku memandang Emak dengan takjub. Beliau membelai rambutku dan memakaikan kopeh dikepalaku.
“ Ayo, sana lekas ke Mushola. Sebentar lagi azan. Wawan ada tugas adzan hari ini, kan?” kataya kemudian.

Baru aku sadari kemudian, ketika hari itu selepas sholat magrib aku pulang kerumah. Kebiasaan yang tak pernah aku lakukakan, karena biasanya setelah, isya baru kami pulang, aku dapati ibu menangis dan berdoa diatas sajadah dikamar. Lirih kudengar suaranya keluar lewat daun pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. Aku mendengar namaku disebut dalam doanya.

Sudah pukul delapan lebih lima belas menit. Lampu-lampu sudah aku nyalakan. Beruntung aku selalu memegang kunci cadangan setiap kali pergi. Jalanan sudah mulai sepi. Aku duduk termangu di teras rumah. Sejurus kemudian aku masuk. Kemana Emak, pikriku. Tidak biasanya ia pergi, dan tetangga tidak ada yang tahu.

Aku mengunci pintu depan. Manyalakan tivi, dan duduk menunggu. Ketika tiba-tiba aku mendengar suara sepeda motor mendekat, dan berhenti didepan rumah. Ini pasti, Emak, pikirku. Secepat kilat aku membuka pintu depan. Dan Emak kulihat turun dari ojek sepeda motor, mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang seribuan. Ia tersenyum kepadaku. Mengucapkan terima kasih kepada si ojek, kemudian menghampiriku. Aku menyaksikan sosok setengah baya ini, masih sama seperti dulu. Lembut dan tangguh.

“ Assalamualaikum. Udah pulang rupaya sang petualang, Emak. “
“ Alaikum salam. Dari mana, Mak? Kok malem banget pulangnya?” kataku memberondongnya dengan pertanyaan. Aku meraih punggung tangannya dan menciumnya.
“ Kamu itu, Emak baru pulang sudah ditanyain banyak-banyak. Lah kamu kemana saja, lima hari nggak pulang, tadinya Emak malah mau lapor kepolisi,” katanya tersenyum.
Aku tertawa kecil. Itulah Emak, dalam keadaan capek seperti ini pun, masih ada saja sisa humor yang tersisa.
“ Wawan kerumah teman, Mak. Ibu dan Bapaknya pulang kampung. Katanya sih, ada saudaranya yang akan menikah atau apa, gitu. Jadi, Wawan menemani dia di rumahnya,” jawabku kemudian.
“ Perempuan, yaa?” katanya kemudian. Ada penekanan yang dalam pada kata perempuan.
“ Ya laki-laki lah, Mak! “ jawabku sengit, “ kalau perempuan, mana mau Wawan berdua-duaan menemani dia di rumahnya. Gini-gini, anak Emak, masih punya sopan-santun,”
“ Iya, tapi udah nggak sayang sama Emak,” katanya sambil tertawa kecil.
“ Loh kok begitu? Apa buktinya?”
“ lah, kamu lebih senang menemani kawanmu di sana, dari pada menemani ibu, dirumah. Padahal sama-sama sendiri,” katanya kemudian.
“ Bukan begitu, Mak. Kalau Emak kan tiap hari ketemu sama Wawan. Kalau dia kan nggak. Nggak apa-apa kan, “ bantahku.
“ Nggak! Nggak!” jawabnya mengalah.

Sejurus kemudian, Emak masuk ke kamarnya. Aku masih menunggu didepan meja makan.
“ Kita makan, Mak, “ ajakku.
“ Kamu makan saja dulu. Emak masih mau istirahat. Lagian, tadi Emak sudah makan,”
“ Emak belum cerita tadi kemana,”

Gordein penutup pintu kamar Emak tersibak. Seraut wajah keluar dengan senyuman tipisnya. Kecantikan yang tidak pernah pudar. Meski usianya sudah menapak senja, tapi sisa-sisa kecantikan masih melekat kuat pada pancaran wajah dan matanya. Emak menarik kursi meja makan dan duduk berhadapan dengan ku. Mengambil sebuah piring, kemudian mengambil nasi dan menghidangkannya buat ku. Aku menyambutnya. Mengisi piringku dengan lauk pauk yang ada dan makan.

Aku tidak menyadari sepenuhnya, Emak menatapku lekat-lekat. Menatap dengan mata sayu kepadaku.
“ Wan…,” katanya tiba-tiba
Aku menunda suapan makanan ku yang terakhir. Menatap Emak yang mulai bercerita.
“ Maafkan emak ya Wan. Dari kecil, kamu selalu menderita. Hidup apa adanya, kekurangan, nggak punya ini dan itu. Waktu teman-temanmu kesekolah naik sepeda, kamu harus rela jalan kaki. Waktu SMA, kamu harus rela naik bus, padahal teman-temanmu naik sepeda motor,” mata Emak berkaca.

“ Emak kenapa ngomong begitu? Wawan nggak apa-apa, Mak. Udah bisa makan tiap hari aja, udah bersyukur. Bukannya Emak yang selalu bilang, kalau kita bersyukur, makan nikmat Tuhan akan bertambah buat kita?” kataku.

“ Tadi, emak ke rumahnya om Wisnu. Teman bapak yang ada di Bogor. Kamu tahukan? Sebelum Bapak meninggal, kami memang pernah sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan beliau. Sekarang anaknya om Wisnu, Elia, sudah lulus kuliahnya. Om Wisnu, menanyakan kembali kepastian mengenai hal tersebut. Bagaimana Wan?”

Aku tercekat. Keringat dingin mengalir didahi ku. Aku taruh suapan terakhir sisa makan malamku kedalam piring. Aku tidak percaya.
Mana mungkin bisa, diera seperti ini, aku harus di jodohkan.

Aku menatap ibu lekat-lekat. Apakah hari ini, aku harus menjadi orang yang mengingkari perasaanku? Atau aku harus mendurhakai Ibuku?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home