Wednesday, January 25, 2006

Catper Bodogol

PUSAT PENDIDIKAN KONSERVASI ALAM BODOGOL
TNGP, Bukan Hanya Mendaki Gunung
Oleh : Boim Akar

Berkunjung ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [TNGP], tidak harus mendaki gunung. Keeksotisan kawasan taman nasional yang di dirikan pada tahun 1980, dan merupakan satu dari lima taman nasional yang pertama di Indonesia, seluas lebih dari 15.000 meter persegi ini, dapat juga kita nikmati dengan berjalan-jalan santai dan melakukan pengamatan lingkungan dan konservasi alam di PPKA Bodogol atau Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol

Jika kita akan melintas kearah Sukabumi, cobalah menengok ke sebelah kiri jalan kita. Sebuah danau akan nampak mempesona dengan panorama alam yang menakjubkan. Kawasan Lido resort. Yap. Begitulah tempat ini diberi nama, sama dengan nama desa lokasi danau tersebut. Namun, tahukah kita, bahwa di sekitar tujuh kilometer dari danau ini, terdapat satu bagian dari wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang sangat menawan untuk di kunjungi. Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol. Lokasinya yang agak masuk kedalam, memang terasa kurang popular dibandingkan dengan kawasan lain dikaki Gunung Gede Pangrango, seperti Taman Raya Cibodas atau Danau Situ Gunung. Namun jangan salah, karena keeksotisan wilayah ini, akan sangat menyegarkan pikiran yang sudah seminggu penuh berkutat dengan pekerjaan kantor.

Setelah merasa cukup mendapatkan informasi untuk kegiatan NFH3+ yang akan diadakan bulan April mendatang, kami segera bergegas menuju Bodogol. Entah karena hasrat untuk bertualang yang sudah sedemikian besar, atau memang rasa rindu akan keteduhan, kesejukan dan aroma pinus yang pekat yang membawa saya kembali kesini lagi. Ini, memang bukan yang pertama, dua tahun yang lalu, saya pernah kesini, bermalam dan menikmati indahnya malam di catwalk yang ditersedia untuk mengamati burung-burung dan pengamatan lain. Kali ini dengan ditemani beberapa teman dari Nature Trekker Indonesia. Perjalanan kami mulai dari titik Lido. Namun sebelumnya, kami memang sudah menghubungi Bapak Asep Suganda, salah seorang petugas disini untuk bisa mengantar kami ke lokasi. Dengan diantar mobil yang disediakan oleh pengelola, rombongan kami bergerak memasuki kawasan Lido resort.
Udara yang teduh, menyambut kami siang ini. Kawasan ini, memang merupakan kawsan yang sudah di kelola baik, sehingga akses jalan di sepanjang Lido resort sudah semuanya di konblok. Pohon-pohon palm sudah ditata dengan baik dikiri kanan jalan.

Namun jangan heran, memasuki desa Bodogol, kita akan menemui jalanan yang sangat berbeda. Tanah liat dan licin, akan menyabut kita. Jadi jika anda akan mengunjungi lokasi ini dengan kendaraan sendiri, pastikan mobil anda adalah 4WD dan jangan sedan. Karena lokasi off road akan sangat tidak mungkin dilalui oleh kendaraan bergardan rendah.

Lima menit dari batas antara Lido Resort dan Desa Bodogol, kita akan sampai di Visitor Center. Disini, kita akan mendapatkan bermacam-macam informasi mengenai lokasi dan fasilitas yang akan diperolah selama didalam kawasan. Termasuk berapa dalam kocek yang akan kita keluarkan. Pusat informasi ini, akan buka sepanjang hari, dari Senin sampai Minggu. Dengan dibantu oleh pemuda-pemuda disekitar lokasi, sebagai tenaga volunteer atau yang mereka sebut Interpretener. Kita juga akan didampingi oleh satu atau dua orang dari para volunteer tersebut memasuki kawasan konservasi alam. Mereka akan bertugas untuk memberikan informasi dari semua yang ada di lokasi konservasi, termasuk mengantarkan anda ke lokasi-lokasi trekking yang sudah di sepakati. Untuk ini, anda akan dikenakan charge tersendiri, sebagai ekstra guide.

Menurut sang pemandu, Jamal dan Andri, yang menemani kami, hujan turun tiap hari sepanjang pekan ini. Jadi tidak heran jika mobil pick up non wheel drive yang disediakan oleh balai konservasi untuk mengantar kami, berkali-kali terperosok. Lubang-lubang di sepanjang perjalanan, ditambah tanah yang licin dan genangan air, membuat sopir kami berkali-kali dengan susah payah membanting setir ke kanan dan ke kiri. Dan kami yang menumpang, serasa berarung jeram ria di tanah berlubang ini. Sementara ladang-ladang penduduk yang didominasi tanaman cabai dan jagung, ada di kanan kiri jalan, dibelakang kami, gunung Salak, diselimuti kabut tipis. Nampak anggun dengan ceruk-ceruknya yang nampak samara-samar. Di puncaknya, kabut tebal menaungi laksana cincin besar dijari seorang raksasa. Eksotis. Hutan pinus di seberang kiri kami diantara sebuah jurang dalam nampak sangat mempesona. Hijau dan damai. Sementara diatasnya, puncak Gunung Pangrango malu-malu menyampaikan salam menyambut kedatangan kami.

Isi perut rasanya seakan akan hendak keluar, menahan bantingan-bantingan kendaraan yang semakin menjadi. Dan pada sebuah ceruk dalam berisi air, mobil yang kami naiki terpelanting. Bannya pecah. Jadilah kami, harus mendorong kendaraan yang terperosok ke lumpur yang lumayan dalam. Sementara menunggu pak sopir ditemani dua pemandu mengganti ban, kami mengabadikan moment ini dengan mengambil beberapa gambar pemandangan yang lumayan bagus. Latar belakang langit mendung diatara kabut berwarna putih.

Perjalanan kemudian dilanjutkan memasuki kawasan batas hutan. Batas ini, adalah batas antara perkebunan penduduk dengan daerah konservasi. Jalanan berbatu rapi, namun bolong di tengahnya. Jadi, jika melintas dengan mobil, dibutuhkan ekstra hati-hati agar mobil tak terjebak ketengah. Hutan pinus dengan tajuk-tajuk menengah akan kita jumpai sepanjang perjalanan. Kelembaban yang luar biasa pekat. Jalanan yang masih becek akibat hujan yang turun terus menerus, membuat jalanan nampak seperti sebuah kubangan. Bau aroma pinus menyengat menyegarkan pikiran. Semenatra udara segar, menyeruak masuk melalui kaca mobil yang sengaja saya buka lebar-lebar.

Kondisi Seputar Resort
Genset Pembangkit Listrik
Lebih dari satu jam, kami harus berada dalam guncangan mobil. Sejurus kemudian, sebuah gerbang nampak didepan kami. Tandanya kami sudah memasuki daerah resort di dalam kawasan ini. Suara burung-burung menyambut kami dari kejauhan. Riuh dan merdu. Seakan lagu selamat datang yang diciptakan Tuhan dan dinyanyikan dengan sangat indah oleh orkestra alam dalam simponi yang sangat lembut. Didepan kami, nampak beberapa bangunan yang berdiri dengan kokoh. Paling luar adalah sebuah gazebo kecil yang sangat nyaman, dan dapat melepaskan pandangan secara luas kearah barat, tempat gunung Salak bertahta. Sebuah pemandangan yang menyejukkan mata, langsung masuk dalam memori otak kami yang sudah mulai fresh. Diatasnya sebuah bangunan untuk volunteer, dan berderet keatas adalah, kantin, gazebo kedua dan resort yang bisa disewa untuk menginap. Dan yang paling ujung adalah, sebuah bangunan yang lebih kecil, untuk kantor pengelola.

Lengkap sudah, dibelakang resort menginap ada sebuah bangunan kecil tempat menyimpan genset untuk penerangan listrik yang akan dinyalakan apabila ada yang menginap. Tapi jangan berharap akan ada penerangan sepanjang malam, karena genset hanya akan hidup dari jam enam sore sampai pukul sepuluh malam. Kita akan dikenakan charge tambahan jika ingin menambah jam nyala lampu, beberapa ribu rupiah. Wajar saja, selain lokasi yang lumayan terpencil dan harus mendatangkan bahan bakar dari desa terdekat, biaya perawatan genset juga menjadi faktor penting dari usia si pembangkit listrik ajaib ini. Sayangnya, untuk saat sekarang genset tidak bisa digunakan, karena rusak. Kerusakan ini sudah berlangsung beberapa bulan dan nampaknya masih belum bisa diselesaikan. Menurut seorang guide, lampu penerangan diganti dengan petromaks. Nampaknya akan lebih menyenangkan bukan?

Catwalk dan Canopy Trail
Berjalan menyusuri lebih kedalam, kita akan disuguhkan beragam tanaman endemik gunung Gede Pangrango dan tanaman yang konon di bawa dari Afrika. Jauh juga yah. Mungkin pada masa yang lalu, para peneliti dengan tujuan tertentu yang membawanya kemari. Jalanan berupa konblok yang berlumut, terasa licin setelah siraman hujan yang cukup deras. Tidak jauh dari pintu pertama masuk, terdapat sebuah catwalk yang berukuran sekitar 5x5 meter. Tapi ini, bukan catwalk layaknya tempat pragawati-pragawati berlenggak-lenggok memamerkan busana-busana baru perancang terkenal. Catwalk disini adalah sebuah lantai dari kayu yang menjorok kejurang layaknya sebuah rumah pohon. Dengan dinding pembatas terbuat dari besi bulat yang dingin, tempat ini sangat cocok untuk bersantai. Dari sini, kita bisa memandang lepas kearah barat dan menyaksikan pemandangan alam yang menakjubkan indahnya. Dan jika cerah, pemandangan matahari tenggelam bisa kita nikmati dari sini.

Puas berlama-lama disana, kami memutuskan melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan licin yang sudah tertata rapi. Pohon-pohon tinggi yang didominasi oleh tumbuhan tajuk menengah dan bawah, menambah kelembaban udara disini. Hujan sudah mengguyur dari tadi, tapi semangat mengeksplorasi dan bertualang kami, tidak menyurutkan tekad untuk terus berjalan. Raincoat kami cukup untuk menghindarkan kami dari kuyup air hujan.

Setelah setengah jam berjalan, didepan kami terbentang sebuah kanopi trail yang elok. Tinginya sekitar lima belas meter dengan jarak tempuh sekitar 100 meter. Canopy ini dibangun tahun 1997. Jadi usianya sudah mencapai delapan tahun. Sayangnya kami tidak dapat menyeberang dan harus berbalik mundur ke lokasi semula, karena faktor keamanan. Karena usia yang sudah lumayan tua, dan disebabkan karena rusaknya kanopi tertimpa dahan pohon. Padahal, sewaktu saya pertama kesini, kami bisa memutar melalui jalan yang lain. Menurut keterangan dari Bapak Asep, kerusakan kanopi pernah diperbaiki, dengan bantuan dana dari sebuah Bank swasta dunia, namun karena alam yang berkehendak lain, maka jadilah sebatang dahan besar menghantam kanopi hingga rusak seperti sekarang.

Mengamati Owa Jawa
Setelah mengambil beberpa gambar, kami bergegas kembali ke resort untuk makan siang. Hujan gerimis masih menemani kami. Curahnya menyegarkan badan yang sudah lama berjalan menyusuri kerimbunan pohon-pohon. Meski beberapa kali harus terpeleset dan jatuh, namun semangat masih berkobar dalam hati kami. Ditengah perjalanan, kami beristirahat untuk sekedar menarik nafas lega. Sebungkus donat yang kami beli di bogor, langsung di santap dengan manisnya. Potong demi potong masuk kedalam tenggorokan dengan lancar. Belum lagi sedikit teh manis yang sengaja di bawa dari rumah. Riuh rendah gurau tawa kami, memecah keheningan alam yang semakin mempesona.

Kami, mampir kembali ke catwalk dalam perjalanan pulang. Seolah belum puas dengan pemandangan alam disini.

Sudah pukul satu lebih lima belas menit. Pantas jika kami sudah merasa lapar. Sesampainya dikantin, bekal makan kami buka. Beramah tamah dengan beberapa petugas, sudah pasti harus dilakukan. Sebungkus rokok dan beberapa gelas kopi panas, menjadi teman kami berbincang-bincang siang ini. Sementara beberapa kawan perempuan menyiapkan makan siang untuk kami. Mmm, betapa nikmatnya makan dialam terbuka dengan pemandangan indah dan hawa yang sangat sejuk.

Sedang asiknya berbincang, kami dikejutkan oleh suara seorang penjaga yang memberi tahu kami akan kedatangan seeokor Owa Jawa (Hylobates moloch). Seolah tak percaya saya mendengarnya. Kenapa bisa. Yah, karena species primata yang satu ini, hanya bisa ditemui jika kita memang benar-bener beruntung. Di kanopi trail dan sekitarnya, disinyalir adalah lokasi paling banyak dijumpai Owa Jawa dalam kawasan ini. Kadang, para pemandu pun akan sangat susah menentukan dimana lokasi yang paling mudah untuk melihat atau menjumpainya. Namun namaknya kali ini, kami termasuk beruntung. Karena dari lokasi resort pun, kami sudah bisa menyaksikan hewan langka dan dilindungi ini.

Primata-primata ini, dengan santainya bergantungan di atas tajuk-tajuk pohon Afrika, mencari makan. Beberapa menghadirkan atraksi yang sangat memukau. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat berharga. Bergelantungan diantara rimbunan pohon Afrika dan sesekali berpindah tempat dengan sangat manisnya. Sungguh ajaib. Rasanya ingin sekali bermain-main bersama mereka. Namun nampaknya mereka masih malu-malu dengan kami, hingga hanya bisa mengintip dari balik rimbunan pohon.pohon.

Air Terjun Cikawengi
Hari terus bergulir. Udara sore memanjakan kami. Perut yang kenyang dan hawa yang sejuk, membuai angan untuk segera terlelap. Namun apa daya, karena satu target masih harus di jelajahi. Yah, air terjun yang hanya berjarak lima belas menit dari resort. Walau tidak seberapa tinggi, namun cukup untuk menyegarkan pandangan. Pada akhirnya, hanya separuh dari kami yang terus berjalan ke spot berikutnya.

Dalam kawasan ini, setidaknya ada dua air terjun yang mempesona untuk dikunjugi. Air terjun Ciparadaanteun, yang berjarak sekitar 2jam berjalan lambat, atau sekitar 4 kilometer dari resort dan air terjun Cikawengi yang hanya berjarak 15 menit dari resort. Alasan waktu dan cuaca yang sudah tidak memungkinkan menjelajahi yang pertama, kami memutuskan menjelajah yang kedua. Berbekal semangat dan bahan bakar nasi bungkus, kami kembali memasuki hutan pinus.

Ternyata yang kami masuki adalah hutan produksi. Artinya, pohon-pohon pinus disini memang diberdayakan untuk disadap getahnya, sebagai bahan baku pembuatan campuran cat atau tiner dan sebagainya. Disepanjang perjalanan kami berkali-kali melihat bekas cakaran macan kumbang atau macan tutul pada batang-batang pinus. Merinding juga, membayangkan mereka mencakar-cakar batang-batang kayu untuk meruncingkan cakarnya, dan menandai daerah kekuasaannya. Dikawasan ini, memang masih menyisakan beberapa species hewan karnivora yang satu ini. Namun jumlahnya sudah sangat berkurang. Banyak faktor secara teori yang menyebabkan berkurangnya habitat satwa, dari predator lain, rantai makanan yang terputus, kurangnya mangsa, sampai pada usia yang memang sudah tua.

Menurut keterangan Jamal, pernah ada macan tutul yang masuk kepemukiman penduduk dan memangsa kambing dari kandangnya. Hal ini disinyalir akibat tidak adanya ketersediaan makanan yang cukup. Secara teori Macan berada di rantai makanan paling atas. Makanannya bisa berupa kijang atau babi hutan. Maraknya perburuan liar dikawasan ini beberapa waktu yang lalu, membuat popolasi babi hutan menurun dan para pemangsa itu terpaksa harus masuk perkampungan untuk mencari makan. Namun jangan khawatir, para pemangsa ini, sangat malu pada manusia. Pada radius kiloan, macan akan menghindar bertemu dengan manusia.

Jalan menurun dan basah kemudian berbelok ke kiri. Ternyata ada jalan besar yang biasa di gunakan sebagai lokasi off road para pecinta tantangan alam liar dengan kendaraan mobil. Namun, saya sempat menyayangkan, bahwa justru hal ini terjadi di daerah konservasi alam, yang seharusnya, kehidupan berjalan dengan apa adanya. Tidak dengan deru mobil dan hancurnya jalan akibat dari kerasnya roda-roda Land Rover yang berusaha menaklukan rintangan alam.

Air terjun Cikawengi, merupakan sebuah air terjun berketinggian sekitar sepuluh meter. Batu-batu besar teronggok apa adanya dikanan-kiri nya. Lokasi yang sejuk dan jarang terkena sinar matahari, nampaknya jadi tempat yang manis untuk pacet berkembang-biak. Saya melepas sepatu dan berusaha naik ke sebuah batu besar didepan air terjun. Uap yang terjadi akibat derasnya arus, langsung membuat baju dan celana saya basah. Nikamat rasanya. Menikmati suara gemuruh air diudara sejuk. Dan benar saja, baru beberapa detik, seekor pacet sudah dengan manisnya “nongkrong” diatas tangan saya. Malah, dua guide kami sudah dari tadi sibuk menyingkirkan mereka dari kakinya.

Perjalanan Yang Menyenangkans
Puas rasanya. Saatnya kembali ke resort. Dimana beberapa teman kami menunggu. Perjalanan pulang ditempuh dengan rute yang berbeda. Tidak lagi masuk hutan pinus namun mengikuti jalur offroad ke atas, dan berujung di depan gerbang PPKAB. Udara masih seperti tadi, sejuk dan damai. Matahari bersinar malu-malu, sementara hujan, sudah reda sama sekali.

Sore merambat naik perlahan. Saatnya berkemas dan pulang. Mobil yang disediakan oleh pengelola, masih setia menunggu kami ditempat parkir semula. Beberapa pegawai yang memang bekerja pada Taman Nasional, juga sudah harus kembali ke bawah. Bayangkan saja, berapa kilo mereka harus modar-mandir setiap hari, jika tidak ada kendaraan yang masuk kelokasi. Setelah packing selesai, mobil melaju perlahan meninggalkan resort. Sejuta kenangan masih menari-nari dibenak kami. Namun jangan salah, petualangan masih belum usai. Karena kami harus kembali melalui jalanan yang licin dan basah. Belum lagi resiko pecah ban seperti saat datang pagi tadi.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Mobil yang kami naiki, lagi-lagi bernasib apes. Harus terperangkap dalam lumpur dan pecah ban. Nampaknya, ini yang terakhir bisa dilakukan. Karena memang ban serep yang sudah tidak ada lagi. Kami pun akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki, hingga ke Visitor Center. Melewati perkebunan penduduk yang segar, menyaksikan bentang alam Jawa Barat yang permai. Gunung Salak menampakkan kemolekannya tepat didepan kami. Warnanya hijau pekat. Sebuah awan putih melintas perlahan. Sesampainya di Visitor Center kami beristirahat dan beramah tamah dengan pihak pengelola. Menyelesaikan administrasi dan kemudian bertolak ke Lido dengan diantar sepeda motor. “ Ini sudah di charge ke kami,” kata Pak Asep sebelum kami pulang. Jadilah lengkap pengalaman menaiki motor dijalan berlumpur dan licin dengan sepeda motor.

Sebagai lokasi konservasi, PPKA Bodogol memang menyajikan sebuah pengalaman tidak terlupakan. Kelestarian yang masih cukup terjaga baik, merupakan sebuah bukti kemitraan antara pengelola dengan masyarakat. Saat ini, pihak pengelola sedang gencar-gencarnya membuat program pengenalan alam kepada siswa-siswa sekolah dari mulai sekolah dasar, lanjutan hingga ke perguruan tinggi. Lokasi tempat beragam flora asli endemik Gunung Gede dan tempat perlindungan terakhir bagi Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang keduanya adalah endemic asli pulau jawa, sudah sepatutunya mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah maupun pusat. Keragaman hayati yang sangat baik ini, akan menjadi asset sangat mahal di kemudian hari, namun bisa jadi bukan apa-apa jika tidak ditangani secara serius.

Lengkap sudah perjalanan kami kali ini. Menyisakan sebaris cerita yang kelak, bisa kami paparkan dengan bangga kepada anak cucu kami kelak. [bm 230106]



Nature Trekker Indonesia goes to Bodogol:
Featuring;
Bongkeng, Sam, Irma, Ismi, Enoy, Vera, Heri, Boim

Producer Pelaksana;
Nature Trekker Indonesia

Ide Kegiatan
Rame- Rame

Penulis Naskah
Boim Akar

Konsumsi
Warung Padang Seberang Lido


Terima kasih
- Tuhan Yang Maha Esa
- NTI
- Bp Asep Suganda – PPKA Bodogol

0 Comments:

Post a Comment

<< Home