Thursday, January 20, 2005

PERJALANAN

Aku tidak akan pernah tahu apa arti perjalanan ini sebenarnya. Tidak sekarang, tidak kemarin, mungkin juga tidak hari esok. Yang pasti, kemana pun aku melangkah, aku berusaha menjadi orang yang berguna buat lingkungan tempat aku bersandar. Masih teringat dengan jelas makian ayah ketika pertama kali aku merayunya untuk bisa ikut dalam acara perkemahan gembira di Cibubur. " Nggak ada kemping-kempingan! Kamu pikir kamu mao jadi apa? Tarzan? Tidur dihutan, makan seadanya, berteman dengan pada gelandangan gunung itu! Apa kamu pikir ayah terima liat kamu dibentak-bentak senior kamu tengah malam buta. terus di ceburin di comberan....! Nggak, sekali bapak bilang nggak...nggak! Titik!"
Ah..ayah selalu saja begitu. Tidak pernah memberi aku secuilpun harapan untuk melakukan hobiku. Yang ada didalam pikirannya hanya ada cita-citanya supaya aku bisa menjadi seorang dokter ternama. Cita-citanya, bukan cita-citaku.
Kejadian delapan tahun yang lalu itu, hingga kini masih berbekas dalam ingatanku. Jelas. Sejelas aku bisa melihat hamparan putih didepan ku. Hamparan awan putih yang bergerak perlahan-lahan menjauh dari puncak abadi para dewa-dewi di kayangan. Entah lah, aku masih berfikir, apakah sikapku yang membangkang terhadap orang tuaku, terutama ayahkyu, menjadikan aku sebagai seorang anak durhaka? Ketidakinginanku untuk mengikuti segala perkataannya membuatku seperti Malin Kundang?..
Sejak penolakan pertama, aku menjadi orang yang sangat menggilai semua tentang kegiatan alam bebas. Masa-masa SMU, ku habiskan bersama beberapa temanku untuk melakukan pendakian ke gunung-gunung di seluruh Jawa. Satu persatu impianku terbayar. Ketika di SMP dulu, aku hanya bisa menangis atau menatap dengan nanar manakala teman-teman menceritakan pengalaman mereka bermain ke curug "anu" bersama si itu. Atau bersama dengan orangtua mereka. Rasanya sangat tidak mungkin buatku melakukan itu. Pikiran ku menerawang pada suatu malam ketika ayah marah-marah kepada ku didepan ibuku, ketika tahu aku barau pulang dari mendaki sebuah gunung di Jawa Tengah.
" Ibu gimana sih, ngurus satu anak aja nggak beres. Malah dia jadi liar seperti itu sekarang! Naik gunung, masuk goa-goa yang nggak jelas manfaatnya, arung jeram seperti orang nggak ada kerjaan lain saja!...Mao jadi apa? Jagoan?"
Merah padam muka ayah menatap ku, sementara ucapannya terus ditujukan kepada ibuku, yang hanya bisa tertunduk, tanpa berani menatap tatapan ayah. Memainkan buku-buku jarinya disela isak tangis yang disembuyikan. Tapi tak bisa berbohong dengan air mata yang jatuh pada pipinya yang mulai keriput. Bukan ibu yang menjawab, tapi aku. Dengan sedikit keberanian yang masih tersisa diantara letihku mendaki, berargumen kepada lalaki berkaca mata yang usianya sudah di ambang senja. Lelaki yang semasa hidupnya menjalani kewajiban sebagai ayah dengan sangat baiknya. Lelaki yang selalu mencurahkan tenaganya untuk mencari rezeki, menghidupi aku dan ibuku. Tanpa kenal lelah, bekerja membanting tulang, dari seorang penjual roti keliling, hingga kini mempunyai usaha pembuatan roti, dan berhasil menyelesaikan pendidikan kedokterannya di sebuah universitas ternama di Jakarta, dan menjadi kepala rumah sakit swasta dikota ini pula. Dan selalu menganggap, bekerja dan pendidikan adalah nomor satu. Tanpa harus menghambur-hamburkan uang dengan jalan-jalan, atau hoby yang sangat mahal, seperti mendaki gunung dan lainnya.
" Yah, Aldi nggak minta apapun dari ayah. Al nggak pernah bikin ayah repot. Al cuma ingin seperti teman-teman Al , punya kebanggaan. Pengen menyalurkan hobby. Melihat dunia luar. Al sudah kelas dua esema, yah! Al udah gede!" jawabku sengit.
" Apa? Udah gede? Nggak minta apa-apa? Kamu nggak pantas ngomong gitu Al, kamu nggak perlu nasehatin Ayah. Apa kamu pikir kamu sudah hebat, hanya karena kamu sekarang udah kelas dua? Hah? Kamu masih ingusan. Kamu nggak ngerti gimana susah nya ayah cari uang buat sekolah kamu, untuk kemudian kamu habiskan dengan berfoya-foya dengan teman kamu dengan cara naek gunung! Mulai sekarang, Ayah nggak ada lagi toleransi buat kamu. Nggak ada itu naek gunung, panjat-panjat dinding seperti orang kurang kerjaan. Kamu harus belajar, jadi dokter, baru kamu bisa ngomong seenak perutmu!"
" Baik...Al buktikan, bahwa dengan kegiatan Al sekarang, pelajaran dan cita-cita yang selama ini ayah kejar, akan Al berikan. Tapi satu saratnya, biarkan Al hidup dalam dunia AL sendiri..!"
Entah kekuatan darimana yang membawa ucapan-ucapan itu keluar lancar dari mulutku. Seoalah tidak ada satu katapun yang tersendat. Aku memandang ibu yang hanya bisa terdiam. Menatap anak semata wayang nya ini. Sungguh, aku bukan seorang yang manja, seorang yang bisanya hanya memanfaatkan kumudahan fasilitas dari orang tuanya. Pekerjaan ayah sebagai seorang kepala rumah sakit di Jakarta, memang menjanjikan kehidupan yang mewah buat anaknya. Apalagi anak-satu-satunya. Entah, aku bukan dari golongan mereka. Hoby ku bertualang, bertambah kuat ketika aku harus mengadakan penelitian biologi di sebuah wilayah terpencil di Kalimantan. Ternyata masuk keluar hutan itu menyenangkan. Dan hutan-demi hutan, aku masuki. Gunung-demi gunung aku daki. Dengan fasilitas orang tuaku, tak ada yang menjadi sulit buatku. Apalagi teman-teman SMU pun ternyata orang-orang mandiri. Dari sanalah aku belajar banyak tentang kehidupan. Bagaimana memperlakukan orang dengan menggunakan perasaan. Dan bagaimana aku harus bersikap ketika kehidupan sedang berada di bawah. Banyak pelajaran yang bisa ku ambil dari hobyku yang satu ini.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

2 Comments:

At 1:33 PM, Anonymous Anonymous said...

klo yg ini kenyataan apa fiktif mas

 
At 10:24 PM, Anonymous Anonymous said...

perjalanan hidup berputar layaknya bola...
bukankah ini suatu yang wajar.
ada pasang surut mewarnai kehiodupan
penuh liku dan gelombang
teman salah salah satu jalan untuk bicara tentang esok yang lebih cerah

 

Post a Comment

<< Home