Thursday, December 09, 2004

Gunung dan Fenomena sampah

Sampah, nampaknya bukan hanya menjadi masalah di Bantar gebang atau Bojong, Kab. Bogor. Setelah pemerintah Bekasi bekerja sama dengan pemerintahan Jakarta dan memutuskan relokasi TPA Bantar Gebang ke Desa Bojong Kab. Bogor, masalah nampak nya masih belum selesai. Bentran terjadi disana-sini. Masyarakat sekitar yang merasa memiliki hak untuk bersuara, digandeng beberapa LSM, Walhi dan pengacara secara kontinyu mendatangi kantor DPRD bahkan DPR. Malahan Kades Desa Bojong pun- rencananya akan di pilih ulang karena menolak untuk menandatangani surat pernyataan pembelaan terhadap rakyat Bojong.

Pelik memang. Ada banyak tokoh dan kepentingan disini. Disatu pihak pemerintah [pemda Jakarta raya, Bekasi,-red] ingin membuat suatu sarana penangulangan sampah yang mumpuni, dipihak lain, masyaarakat merasa dirugikan dengan hal tersebut. Sudah bisa dipastikan akan ada sederet masalah didepan mereka. Air bersih yang tercemar, penyakit kulit, udara kotor, dan masih setumpuk masalah lainnya akan siap menyerang dari segala penjuru.

Meski daiakui, tunpukan sampah juga membawa berkah buah sebagian orang. Di Bantar Gebang sendiri, berapa nyawa yang menggantungkan kehidupan pada tumpukan sampah. MEski dari segi kesehatan, memang sangatlah menggangu.

Apakah hal ini akan terjadi juga pada Gunung-gunung di Indonesia? Alun-alun Surya Kencana di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [TNGP], misalnya. Sampah sudah bukan barang yang aneh lagi. Tumpukannya bisa di lihat dari sebelah timur, hingga kebarat. PAda sisi ini. konsentrasi nya malah sudah parah. Akses yang mudah terhadap sumber mata air sendiri, menjadikan sisi sebelah barat tempat yang ideal untuk berkemah dan mendirikan tenda. Hingga sisa bungkus makanan dengan sangat mudah di jumpai.

Sampah-sampah non organik yang paling banyak. PEmbungkus plastik, kaleng makanan, steroform, batu batarai bekas, hingga botol-botol minuman energi dan beralkohol dapat dengan mudah dijumpai. Dan jangan sahah, aroma nya juga menyengat. Belum lagi, mata air yang hanya satu-satunya di alun-alun Surya KEncana pun tidak lolos dari kelalaian para penikmat kegiatan alam bebas ini. Sampai dan sisa makanan dapat dengan mudah terlihat menga,bang pada mata air semata wayang itu. Dan jangan salah juga, bahwa setiap nyawa disini menggantungkan hidup dan kebutuhan air pada mata air tersebut.

Pencinta Alam, atau mereka yang menyatakan diri sebagai pendaki, [setidaknya yang pernah menginjakkan kaki di sini-red] memegang andil dalam terciptanya lingkungan yang tidak sehat ini. Mereka adalah penymbang terbesar dari ketidakstabilan ekosistem di alun-alun Surya Kencana. Dan buka tidak mungkin, hilangnya mencek dan Babi jutan yang dulu kerap kali terlihat, juga karena onggokan sampah para petulang ini.

Kendati pihak pengelola TNGP sudah memampang tulisan yang berisi himbawan untuk membawa sampah kembali pada setiap pintu masuk kawasan taman nasional, toh kesadaran dan intelektualitas yang tinggi, tetap menjadi seleksi alam. Berdasarkan pengamatan, hanya beberapa pendaki saja yang dengan rela membawa semua sampah mereka turun, sisanya hanya sekedarnya saja, atau hanya sebagai persyaratan saja. Meski tidak dipungkiri ada juga yang dengan suka rela membawa sampah orang lain yang tidak bertanggung jawab.

Dan martabat seorang pendaki sedang di uji. Bagai mana kita bisa memberikan contoh dan perlindungan kepada alam. Bagaimana mereka yang mengakui, mengangkat diri mereka sebagai pencinta alam melakukan penganiayaan terhadap alam itu sendiri. Bukankah seharusnya pendaki menjadi contoh sebagai penyelamat lingkungan?

.......................

0 Comments:

Post a Comment

<< Home