Wednesday, June 21, 2006

Jambore AVTECH TNGP 2006 Peace and Friendship

Jambore AVTECH TNGP 2006 Peace and Friendship
Antara Rekor MURI dan Team Telat!
By : Boim Akar

Hari sudah larut malam. Ketika saya dan Indra menapakkan kaki di Bogor. Perjalanan sepanjang satu setengah jam dari Bekasi, lumayan memakan energi. Apalagi, malam ini, kami baru saja pulang dari aktivitas pekerjaan rutin. Jadilah, perut sudah keroncongan.

Hari ini, kami, saya dan Indra, beserta tiga kawan lain, Bang Nanda, Mas Farid, dan Wisnoe, akan mengikuti sebuah jambore yang akan di gelar di alun-alun surya kencana gunung gede pangrango. Kami mengambil jalur bebeda dengan pertimbangan akan lebih cepat. Bekasi – Cipanas via Bogor. Sedang Bang Nanda dan rombongan akan mengambil jalur kampung Rambutan- Cipanas. Jam 10 malam, kami harus sudah sampai disana.

Tanpa menunggu lama, saya dan Indra segera menaiki mobil Bogor-Cianjur. Udara malam ini lumayan dingin juga. Beban kami masukkan dalam bagasi mobil kecil L300 itu. Saya duduk di belakang, sedang Indra dengan ganjennya menempel seorang perempuan yang, mmm...lumayan manis, kalo di lihat malam hari. Sementara disebelah saya, hanya ada 2 pemuda tanggung dan satu kakek. Ah, jadilah saya tidak bisa menikmati perjalanan dengan nyaman.

Mobil bergerak perlahan, menembus malam dan ruihnya hiruk pikuk Bogor memasuki jalan tol ke Gadog. Dari kecepatan biasa, mobil melaju dengan kencang menembus jalan mulus tanpa hambatan itu. Memasuki Bogor, kami mendapat kan pesan dari Mas Farid bahwa mereka sudah melewati Ciawi. Artinya mobil yang mereka naiki lambat. Kenapa bisa? Mobilnya belet katanya. Sukurlah.

Menjelang jam 10 malam, kami sampai di Cipanas. Dan tiga orang tua dengan manisnya menunggu di depan pos polisi pasar Cipanas. Kami akhirnya berkumpul. Mas Farid menawar ongkos mobil untuk ke atas. 35 ribu rupiah. Wah, tanpa babibu langsung tancap menuju pos gunung putri. Rupanya, kami bukan kelompok yang terakhir datang. Ada tiga orang rekan dari bandung yang akan melakukan pendakian malam ini juga.
Malam semakin larut. Bulan separuh, menggantung dengan manis di langit malam yang cerah. Bintang-bintang saling berkedip, seolah menyapa kami yang terus dan terus naik dengan kendartaan angkot carteran. Tawa dan canda masih membahana. Sesekali celaan yang membuat hidung mekar dan kuping merah. Maklum, ketika anak muda bertemu dengan orang tua, selalu ada saja bahan yang dibahas.

Sekitar jam sebelas, kami sudah sampai di pos gunung putri. Keputusan untuk beraklimatisasi, sambil menenggak segelas teh hangat dan bakwan dingin, sambil bersorak sorai menyaksikan pertandingan piala dunia dari TV hitam putih mungil ibu penjaga warung, membuat kami semakin larut dengan cuaca. Membuat aklimatisasi berjalan dengan baik.

Setelah puas, kami menuju pos GPO untuk registrasi akhir sebelum pendakian. Repacking dan sedikit pemanasan untuk bergerak naik. Yang wajib harus di kerjakan adalah, mmm...apa yah...ciss...foto! heheh
Dan kamera canggih bang Nanda, menangkap beberapa gambar persiapan pendakian. Diikuti senyuman manis dan gaya narsis dari masing-masing orang. Walah, meski baru mau naik, tapi kalo foto ya harus gaya.

Cuma Babi yang jalan malam!
Sepertinya, seloroh pendaki-pendaki di Jawa barat itu, tidak berlaku untuk kami berlima. Buktinya, dengan memakai kupluk dan senter, kami menembus gelap malam gunung putri menuju ke alun-alun. Sekali-sekali menengok ke belakang menyaksikan lampu-lampu malam kota Cipanas yang menenangkan hati. Angin malam berhembus pelan. Hanya nafas-nafas yang memburu memenuhi udara dan menjadi suara yang sampai ketelinga. Bunyi dari hantaman sepatu ke jalanan, sampai bunyi hewan malam, menemani perjalanan kami. Diperjalanan kami menjumpai dua tenda pendaki yang juga kemalaman. Satu di dekat sungai satu lagi dekat perbatasan hutan dan ladang penduduk.

Berkali-kali kami harus berhenti, karena perut mulai menagih untuk di isi. Menjelang pos informasi lama, kami berhenti. Merasakan hembusan angin, dan menyalakan sebatang rokok untuk mengusir penat. Sebotol air yang di bagi, dan sebungkus keripik singkong yang didistribusikan merata. Mmm...lumayan juga.
Perjalanan, mulai mencapai titik ekstrimya sekitar pukul 3. Kami memang memutuskan untuk tidak singgah di pos informasi lama, karena ada satu pos lagi diatasnya yang jaraknya tidak terlalu jauh. Jadilah kami bablas, dan saat itulah, Wisnoe dan Mas Farid, melihat fenomena aneh. Sebuah daun yang bergoyang terus menerus karena dipermainkan sesosok mahluk yang aneh. Untunglah, dia tidak menggagu kami. Dan hanya Wisnoe dan Mas Farid yang sempat melihat. Saya dan yang lain masih enak-enakan bercanda ria, seolah tak ada apa-apa. Dalam hati bersukur, karena kemampuan supranatural itu, nggak diwariskan Tuhan ke saya, karena emang saya nggak akan kuat. Kalo saya yang bisa liat, duh..udah pingsan mungkin.

Pukul 4 pagi, badan sudah tidak mau lagi di paksa. Kantuk mulai menampar-nampar saraf mata. Dan dengan beralas bumi dan beratap rimbunan pohon, kami tertidur. Saya, dan ke tiga rekan lain, tidur dengan pulas. Namun mas Farid, ternyata tidak bisa tidur, karena serangan dingin. Meski harus tidur-tidur ayam. Namun sukurlah, mata ini masih sempat memberikan badan waktu untuk beristirahat.

Pagi menjelang. Suara azan di kejauhan. Matahari pagi yang meneroboskan sinarnya membentuk jaring-jaring sutra yang indah, Kuning keemasan. Dingin masih menyergap seluruh tubuh. Namun, apa boleh buat, kami harus kembali bergerak. Sereal sarapan pagi, den sepotong roti keju, menjadi menu makan kami pagi ini.

Menjelang siang hari, kami menginjakkan kaki di HM 45. Artinya, alun-alun timur surya kencana sudah kami tapaki. Terlanjur telat, kami makan nasi uduk di campur dengan abon. Kecuali saya, tentu saja. Karena saya memang tidak makan daging. Dan acara makan pagi yang kesiangan ini, pun menjadi nikmat. Masing-masing habis 2 bungkus nasi yang di jual seorang pemuda asli dari lereng gunung putri. Logat sunda yang medok, dan kulit yang legam, kentara sekali. Pun, ketika saya mencoba bercakap-cakap dengan dia dengan bahasa sunda sebisanya, yang lain masih sibuk mengunyah dan berkata, “ uh..ngomong jorok teruss!” Di gerbang alun-alun beberapa kawan dari volunter menyapa saya. Obrolan singkat terjadi. Wah, rumaya Jambore kali ini, mengerahkan banyak juga yah, volunteer-volunter di TNGP. Dari Montana, GPO, sampai sodara jauh di salabintana, Phantera, juga di undang. Sungguh sebuah event yang benar-bener bersahabat.

Melintasi alun-alun suryakencana dari sebelah timur, memang menyenangkan. Hamparan rumput-rumput hijau kecoklatan kami lalui dengan riang. Meski beban berat, namun birunya langit dan awan yang putih bersih menjadi semangat. Belum lagi, edelweis yang sudah mulai mekar. Wow, sebuah pemandangan yang menakjubkan. Batuan vulkanik sepanjang jalur ini, kami lalui dengan gembira. Disebelah kanan kami atau sebelah utara bumi, puncak gunung Gede dengan manis nya menyembul indah. Sebuah pemancar radio masih berdiri menandakan titik triangulasi disana. Samar, terlihat bendera putih berkibar di tiup angin. Sedang di sebelah kiri, atau sebelah selatan, gunung Gumuruh membentang sepanjang ebih dari 2 kilometer. Membungkus alun-alun surya kencana bersama sama dengan puncak gunung gede. Konon, gumuruh juga menjadi target pendakian warga sekitar cianjur dan cipanas, karena banyaknya situs situs purba yang mereka percaya bisa mendatangkan manfaat. Mmm...saya sendiri memang belum pernah berziarah ke goa jepang atau niat bersemedi disana. Namun, ketika pendakian saya pada bulan Maulud lalu, fenomena itu memang sempat mengganggu pikiran saya. Karena, para peziarah tidak memakai peralatan pendakian yang memadai.

Hingga menjelang alun-alun barat, sepanduk Jambore telah dipasang. Puluhan orang, bahkan ratusan, sudah berkumpul membentuk huruf O di tengah terik matahari. Mendengarkan pengalaman seorang pendaki gaek Indonesia yang sudah pernah menginjakkan kaki nya di Everest. Sesekali terdengar seloroh yang diikuti gelak tawa, membentuk koor dengan nada yang aneh. Semangat tinggi! Mungkin itu kata yang tepat untuk mereka. Sepanas ini di jemur di tengah2 padang Suryakencana. Kami menuju lokasi tempat berkemah yang sudah diatur panitia. Lokasinya ada di sebelah atas mata air. Jadi jarak untuk mengambil air tidak terlalu jauh.

Makan Siang dan Rekor MURI
Dua buah tenda menambah jajaran tenda-tenda peserta Jambore. Karena kami datang terlambat, kami jadi tak bisa mengikuti acara secara utuh. Padahal, teman-teman peserta yang lain sudah sampai dari jumat siang, atau dari kamis sore. Kami sabtu pagi baru mendarat dengan oleng di sini.

Siang merambat cepat. Dari pengeras suara acara makan sianga akan diadakan dengan cara lesehan. Sebuah wadah pita plastik panjang menyerupai kain, di bentang sepanjang 600 meter dari barat ke timur. Dan para peserta Jambore berbaris pada satu sisi, menghadap ke utara, atau menghadap ke puncak gunung gede. Nasi putih, campur rumput, tempe orek tahu goreng menjadi menu utama. Tapi, secara kami adalah pendaki elit -hehe- 6 potong ayam goreng dan sambal ulek bawaan bang Nanda, serta teri plus kacang yang yummi abis menjadi menu pendamping. Kontan saja, lirikan sirik dari para peserta lain, tertuju pada kami. Dan dengan bangga kami melangkah. Sombong boleh dong. Kita naik gunung kan tidak untuk merubah pola makan.

Bunyi sirine, membelah siang. Itu tandanya kami boleh menyantap makan siang kami. Wah, seru juga yah. Meski panas-panasan, namun semangat masih menyala. Dan menurut informasi, acara makan lesehan sepanjang 600 meter di ketinggian hampir 2700m ini, akan di daftarkan ke MURI, begitu keterangan mas Yudi, bosnya Avtect yang mensponsori acara.

Sore hari, acara games dan kuis diadakan. Dari games membuat tenda, sampe games nyambung-nyambung baju. Namun, kembali tim kami tidak ikutan. Karena saking ngantuknya, kami semua tertidur siang itu di tenda dengan pulas. Sementara panitia berseliweran didepan tenda, tanpa berani membangunkan. Maklum, pendaki tua-tua yang naik. Jadi mereka sungkan.

Menjelang sore kami terbagun. Games masih berlangsung. Sinar matahari yang menembus badan membangunkan kami. Sedetik kemudian, mas Yudi bergabung. Indra yang tidur di tenda babinya, nyenyak sekali. Dan kami berlima ngobrol dengan di temani cemilan, dan rokok. Dari yang santai sampai ide untuk menggarap Jambore tahun depan di Lawu. Ternyata, tetangga tenda kami gak mau ketinggalan. Tiga orang dari Bandung menghampiri. Rupanya mereka anak-anak kampus INABA yang akan mengadakan pendakian marathon 10 gunung di Sumarta, Jawa, Bali dan Lombok. Salut deh buat Ridwan dan kawan-kawan.

Makan malam bersama
Makan malam kali ini rada special. Karena, nasi dengan martabak mie dan kentang goreng plus kerupuk buatan Indra jadi menu utama. Wow. Menu yang mengasikkan. Sepanjang malam, kami menghabiskan waktu untuk bercerita. Sebelum akhirnya tertidur pulas, karena kenyang. Nyaman juga. Tenda bang Nanda, mendekap kami berlima. Sementara barang-barang di pindahkan ke Eureka Soliter kuning milik Indra.

Acara makan malam ini, kami bersukur. Karena makanan kami layak dimakan. Masak-memasak menjadi hal yang menyenangkan. Dalam sebuah buku panduan mendaki gunung, saya pernah baca, bahwa jika anda hoby memasak, maka malam hari adalah waktu yang tepat untuk bereksperimen. Benar juga.

Hembusan angin malam dalam suhu dibawah 7 derajat celsius, memakasa kami melesak dalam-dalam ke sleeping bag. Padahal, bulan terang dan bintang menyanyi dengan manisnya. Langit benar-benar sempurna. Di tengah malam saya terbangun, karena rekatan samping tenda ternyata terbuka. Ampun. Rupanya kuatnya hembusan angin membuat tenda-tenda kami bergetar.

Kami terbangun oleh teriakan tukang nasi uduk pagi itu. Sadar, bahwa hari mulai pagi. Padahal baru pukul setengah enam. Dingin masih menusuk. Bang Nanda, ternyata berniat untuk menyaksikan sunrise di alun-alun timur. Memang, selain puncak gunung gede, alun-alun timur juga dapat di gunakan untuk menyaksikan sunrise. Jadilah kami berempat berjalan menyusuri jalur kanan. Indra menunggu di tenda. Dan dengan baik hati nya, menyiapkan makanan ketika kami pulang. Beberapa foto narsis, sempat kami buat. Macam-macam gaya. Meski sunrise nya tidak sempurna, karena garis kelabu ada dibawah matahari, namun tak kalah mempesona. Lumayan, untuk membayar keringat kami dari barat ke timur.

Pulang..!
Jam delapan pagi, kami harus sudah siap untuk mengadakan upacara penutupan. Peserta berkumpul di tempat kami makan kemarin. Kali ini, dibagi pertronton. Walah, kami berdelapan, karena tidak punya nomor tronton, memilih untuk berbaris dibelakang. Ucapan terima kasih dari ketua panitia, kemudian dari kepala acara, alias penyelenggara. Lagi-lagi, kami dikejutkan oleh seloroh mas Yudi, karena dengan lantangnya dia menyebutkan, “terima kasih kepada tim yang telat-telat,” sambil mengarahkan toa kearah kami. Kontan saja, semua mata menoleh ke belakang, kearah kami. Walah..!
Setelah selesai, acara ramah tamah dilakukan. Peserta berkeliling saling menyalami. Sebuah persahabatan yang terlajalin dengan manis. Kemudian kami melakukan foto bersama. Seru juga.

Siang hari kami mulai melangkah naik menuju puncak. Sengaja mengambil antrian belakang, karena tidak mau terlalu rapat di jalur. Panas membakar. Jalur puncak di lalui dengan manis. Di puncak kami bertemu dengan seorang sahabat di millist. Dio. Wah, jadi tambah rame. Kelakar-kelakar segar mengalir. Jepretan foto masih terjadi. Narsis dan cuek.

Puas di puncak, kami menuruni bibir kawah gunung gede. Di kejauhan, nampak hamparan kota Sukabumi yang rapat. Garis pantai selatan yang samar, dan gunung ciremai yang terlihat menjulang angkuh di kejauhan. Kami bersyukur, masih bisa menikmati pemandangan indah pangrango tanpa sehelai kabut pun. Dan gunung salak, menyembul diantara awan tebal di kejauhan.

Dikandang badak kami berhenti untuk makan siang. Jam 1 siang kami tiba disana. Bekal makan siang sudah kami siapkan. Beberapa pendaki bergabung bersama kami. Dan menjelang siang, mas Yudi kembali bergabung. Sedangkan 3 teman dari Inaba, mengambil tempat di pojok. Kami makan dengan santai. Bang Nanda masih sempat-sempatnya foto dengan Tika Bisono. Walah, dasar banci tampil semuanya.

Jam tiga kami turun. Menjelang airpanas, mas Farid di hadapkan pada fenomena yang dilematis. Memang, dari kami berlima, Cuma mas farid yang memakai sandal gunung. Jadilah dia harus melepaskan sendalnya untuk melewati aliran air panas. Dan Indra, ternyata harus merasakan kelilngking yang melepuh karena sepatu yang pas. Saya sendiri merasakan panas di jari manis kaki sebelah kiri. Ketika di periksa, ternyata sudah mengelupas. Waduh. Jadilah saya harus menahan perih juga sepanjang jalan. Namun karena kecil, makanya tidak terlalu menyikasa.

Menjelang magrib kami tiba di panyangcangan. Pos terakhir. Saya jalan di belakang bersama mas Farid. Sedangkan Indra, Bang Nanda dan Wisnoe ada di depan. Dan di tengah perjalanan, ada bantuan evakuasi. Kissin menjemput sendirian.

Pendakian kali ini, sangat-sangat menyenangkan. Saya pernah satu kali mendaki bersama Bang Nanda dan Indra. Namun, belum pernah bersama mas Farid dan Wisnoe. Ternyata kami tim yang kompak loh.[ BM1806]

Thanks to:
Allah SWT and Rasulullah Muhammad SAW
Ibunda di rumah untuk Doanya.
Kissin, yang dah nunggu dari jam 11 siang di panyangcangan
My Team Mate, Wisnoe, Indra, Bang Nanda, Mas Farid....you’re georgeus. Top abis deh
Panitia
Mas Yudi Avtech
Sahabat-sahabat Pendaki lainnya
Teman-teman Volunter, Montana, GPO dan Panthera.. untuk kehangatannya
Dan smua pihak
Semua pendaki di dunia,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home