Wednesday, April 19, 2006

NFH3+ Sebuah Catatan

NATURE FUN HIKKING 3+
TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
8 – 10 April 2006

Bekasi,
7 April 2006

pada binar mata yang sayu
Diantara rimbunan cemara dan cantigi merekah
Seulas senyum menampakkan kegelisahan
Entah dari mana datangnya

Acara tahunan dari sebuah millist penggiat alam bebas, NTI, kembali membawa aku melintasi hutan-hutan lebat Taman NAsional Gunung Gede Pangrango, Nuansa alam yang sangat kental dan telah aku kenal dengan baik. Pikiran melayang pada menit-menit pertama dulu ketika aku baru menginjakkan kaki di gunung yang amat mahsyur di kalangan para penggiat alam di Jawa Barat.

Terbayang jelas dipelupuk mata, rimbunan edewleis pada 1998 yang lalu. Hampir delapan tahun yang lalu. Jalur yang sama aku lewati, untuk mencapai puncak Gunung Gede. Jalur Gunung Putri – Surya Kencana – Puncak Gede – Cibodas.

Udara pengap Bekasi, menyadarkan aku yang harus segera bergegas pulang. Tumpukan kertas di meja kerja, masih menggunung. Beberapa SMS yang masuk masih menjadi penunggu manis inbox dan belum di baca. Waktu rasanya bergerak sangat cepat. Mengalir, dan membanjiri ku lewat peluh yang menetes di dahi dalam ruangan ber AC. Ironis memang. Dalam agenda kerja, aku sengaja menuliskan kata NFH3+ dengan huruf capital besar. Lagi aku melirik jam dinding di tembok depan. Pukul empat kurang sepuluh. Artinya sebentar lagi. Mau tidak mau aku harus pulang. Mempersiapkan packing perlatan yang masih tersisa untuk pendakina NFH3+ besok. Jumat yang melelahkan. Gontai aku melangkah pulang. Memacu setiap nyali yang masih tersisa. Bukan saja karena pendakian, tapi karena ini kali kesekian aku kembali bertaruh nyawa, untuk menjaga nama baik, dan menjaga peserta yang lain. Memastikan kondisi mereka baik-baik saja. Memastikan perlatan mereka memadai, memastikan semua perlengkapan komplit.

Ah…
Mengapa keraguan selalu meraja
Justru ketika keputusan harus di ambil dengan segera
Apakah ini berkah atau pertanda?
Entahlah

Sore itu, aku kembali mengabarkan rencana selanjutnya kepada rekan-rekan seperjalanan. Kesepakatan untuk bermalam di salah satu rumah teman, menjadi alternative paling menyenangkan. Bagaimana mungkin akan bisa mencapai meeting point di senayan, jika harus berkumpul jam enam pagi dari Bekasi. Libur pula. Dengan malas, aku mengangkat handset handphone dan memencet beberapa tuts membentuk rangkaian kalimat sms. Mengabarkan kepada teman seperjalanan untuk menunggu di depan suah shopping mall, untuk berbelanja logistic.

Udara malam bekasi, makin terasa pengap. Kota ini, memang menghadirkan nuansa metropolis yang kental. Shopping mall besar berdiri dengan gagah, ketika kami sampai. Dua orang teman masuk kedalam untuk berbelanja logistic. Aku menunggu dipelataran depan.

Mengambil sebatang rokok dan ku nyalakan. Menghembuskan asapnya kuat-kuat keudara malam yang pengap. Sementatra tiga carrir besar 45 liter, tergolek dengan malas di bawah kakiku. Beberapa pasang mata menatap curiga. Ah, biarlah. Mereka tidak mengerti, jawabku. Apa pedulinya. Bukankah menjalani kehidupan semacam ini adalah pilihan. Bukan aib. Jadi tak ada alas an untuk malu melakukan hal aneh di tengah orang-orang aneh.

Aku membuka carrier ku, mengeluarkan sebuah map. Ada tulisan besar disalah satu kertas. Plan Sheets NFH3+. Ku buka sekali lagi. AKu acak-acak isinya. Mencoba mencari-cari sedikit kesibukan, membunuh jenuh.

Bus kota yang membawa kami bertiga, melintasi jalan-jalan ramai timur Jakarta. Membelah Tol Jakarta Cikampek dan keluar di Halim. Malam Larut. Bulan enggan bersinar. Aku menyandarkan punggung pada kursi deretan belakang. Pasrah ketika angin kencang dari pintu bus, menderu dan menampar wajahku. Lelah. Penat. Berbaur menjadi satu bersama debu-debu yang menempel di minyak wajah.

Pasar Minggu; malam 7 April 2006.
Diam membisu
Memikirkan pagi,
Mencari cerah matahari berbagi
Apa masih ada harapan esok, tuan?

Langkah-langkah gontai memasuki kawasan perumahan elite dibilangan pasar minggu. Sampai disana, kami mempersiapkan kembali barang-barang untuk pendakian. Logistik di cek, termasuk persiapan ahir untuk absensi dan lain sebagainya. Benak ini kembali memekik. Ada seribu bahkan lebih keraguan bergayut pada dinding-dinding perasaan, apakah ini akan jadi akhir, atau hanya sebuah awal. Apakah ini akan menjadi sebuah tanggung jawab besar, atau kah hanya sebuah permainan. Entah lah. Yang aku tahu, ada empat puluh nyawa yang harus di jaga, untuk di koordinasi. Memang bukan seorang. Namuan, beban di pundak tak akan jua bisa terbagi.

Senayan, Sabtu 8 April 2006,
Mata masih lagi belum bisa terpejam dengan manis. Ketika alarm dalam handphone memekik nyaring. Seolah menang, harus membangunkan kami sepagi ini. Malas aku melangkah turun. Menuruni tangga menuju kamar mandi. Untuk kemudian membenamkan diri dalam sujud panjang, memohon keselamatan Sang Maha Esa. Dua teman ku datang menyusul. Sepagi ini, kesibukan luar biasa terjadi. Beberapa carrier besar tertumpuk di pinggir dinding.

Secangkir the panas terhidang. Ku hirup dengan segenap kesungguhan hati. Mencoba mengusir galau yang meraja dalam benak.

Duhai
Yang menggengam hidup dan mati
Dipundakmu aku menangis malam tadi
Mencurah segala keluh kesah yang menyelimuti kalut
Pada relung hati

Belaian mesra mentari pagi, menyulut semangatku kembali menyala. Ada keceriaan terselip di binat-binar mata sahabat-sahabatku. Aku mencoba kuat. Pergulatan batin yang panjang masih terjadi. Ada beberapa SMS masuk. Aku biarkan. Semuanya berisi informasi lokasi peserta, dan ada pula yang bertanya dimana lokasi sebenarnya. Mata menerawang. Menembus kaca-kaca mobil antic yang melaju cantik di keramaian Jakarta sabtu pagi. Lengang. Itulah kesannya. Separuh masyarakat hendonis Jakarta tentu sudah berada di Bandung, Bunaken, Bali atau bahkan luar negeri dalam weekend panjang kali ini. Sedang untuk kami, gunung menjadi sarana melepas penat yang indah.

Tempat ini memang tak pernah sepi. Mobil sudah dari tadi disana. Kami terlambat. Beberapa peserta juga sudah dengan manis duduk menunggu. Aku menghampiri mereka satu-satu. Menyalami mereka dan menanyakan basa-basi persiapan mereka. Seorang teman memberikan bungkusan berisi nasi uduk. Syukurlah. Perut memang sudah sangat lapar. Hanya diisi oleh seteguk the manis dan sepotong biscuit. Ah, aku mau berteriak rasanya. Memandang penuh takjub kepada semua orang. Kepada semua peserta. Betapa mereka memang sudah mengantisipasi dengan segenap hati segala kemungkinan yang akan terjadi.

Siang merangkak naik. Pukul tujuh lewat. Kami bergerak meninggalkan Jakarta. Menaruh sebongkah harapan. Agar udara cerah. Agar semua kegiatan hari ini, dan pendakian kami tidak terjadi sesuatu yang membahayakan.

Cipanas, Depan Factory Outlet Cipanas
Siang Hari Sabtu, jam 9:30 Wib
Sepasang mata memandang dari kejauhan
Melebur bersama peluh, mengawasi tiap langkah yang gontai
Dia menarik tangan ku
Menggenggam sepasang merpati
Dan mengalungkan melati padaku


Siang tarasa panas. Entah memang cuaca yang membakar. Atau karena hati yang kalut. Tronton berhenti di depan sebuah Factroy outlet di Cipanas. Alternative angkot memang sudah menjadi pertimbangan ku untuk melanjutkan ke pos pendakian.

Berjalan menyusuri tepan hati
Aku berhenti pada persimpangan tak ber rambu
Mana arah yah ku tuju
Apakah salah benar-benar bartalu

Prediksi jalan yang diberiakan team advance memang menjadi pertimbangan untuk menempuh jalur alternative. Meski sempat beberapa kali berbeda pendapat, namun tak ada yang bisa diluruskan. Keberangkatan harus sesuai dengan waktu yang sudah di jadwalkan. Inilah gunanya manajemen perjalanan. Inilag gunannya team advance. Dan aku sudah pada titik cerah, mengerti apa yang aku pelajari dari teori beberapa tahun yang silam.

**
Aku mendahului naik di angkot pertama. Semuanya ada empat angkot yang kami carter untuk sampai di pintu gerbang masuk TNGP gunung Putri. Inisiatif ini aku ambil untuk bisa lebih leluasa, berhububungan dengan pihak GPO yang ada disana. Konfirmasi porter yang akan membawa sebagian barang peserta harus sudah dilakukan, sebelum mereka datang. Otak ini bekerja keras. Memberikan prediksi-prediksi kecil yang menyakitkan.

Sukurlah. Team advance memang sudah berkoordinasi dengan sangat baik dengan pihak GPO. Sehingga sampai disana saya sudah diberi akses masuk yang mudah. Ah, sekali lagi saya bersyukur, kepada teman-taman yang sangat membantu saya. Secangkir teh panas, terhidang. Ramah. Dan begitulah, volunteer. Keramahan tanpa pamrih.

Menjelang siang. Rombongan berangsur-angsur datang. Satu-dua orang, kemudian semua. Lengkap. Wajah-wajah cerah, masih menyertai. Senda gurau masih membahana. Setelah makan siang dan istirahat, kami bergegas.

Ada gerimis, menuntun kami kepuncak
Dan kabut tipis melambai turun
Mengiringi dengan doa jejak kami yang tertinggal
Pada baruan gunung dan Lumpur harapan
Sementara embun adalah sebuah lagu
Nyanyian alam tanpa suara

***
Menuju Surya Kencana, Sabtu 08 April 2006
Pukul 13:00 Wib
Aku berjalan mengikuti langkah-langkah kaki ini. Menembus pekatnya kabut, dan becek jalanan ladang pertanian yang semakin menanjak terjal. Sepanjang perjalanan yang menyuguhkan rangkaian tanaman penduduk desa sekitar. Ironis memang. Hutan yang seharus nya di lindungi, hancur sudah. Berganti dengan lahan pertanian penduduk. Tak ada yang bisa disalahkan, toh mereka juga harus bertahan hidup.

Matahari seolah enggan bersinar. Aku menyalahi posisi yang sudah di tetapkan. Seharusnya aku ada di posisi depan. Namun, apa boleh buat. Barisan belakang tidak bisa di tinggal. Bagaimana mungkin aku akan sampai di lokasi, meminum segelas kopi manis, sementara peserta yang lain terombang-ambing tanpa pengawal.

Hari ini, sudah tak penting jadi pahlawan
Semua nyawa itu penting
Adalah harga mati untuk bergerak perlahan
Memastikan semua berjalan lancar

Hujan kembali mengguyur. Pos pertama sudah terlewati. AKu dan beberapa orang rombongan menerobos masuk batas hutan. Suasana ini yang aku rindu. Hembusan angin dengan udara lembab. Diantara tinggi pohon-pohon dan tanah basah selepas hujan. Kami duduk beristirahat. Mengeluarkan sebungkus rokok yang di nyalakan tergesa. Hembusan angin yang tidak bersahabat, membuat kami harus ekstra keras menyalakan sebatang racun yang indah ini. Ah….bebas rasanya. Tak ada dering telepon atau bunyi printer di belakang kursi. Yang ada hanya hembusan angin dan celoterh burung, berteman senda gurau kami yang makin hangat.

Jalanan yang kami lalui masih sama seperti yang aku lewati delapan tahun yang lalu. Waktu pertama kali aku menginjak kan kaki disini. Masih terjal. Berakar dan masih lembab. Tak ada yang berubah. Kecuali sampah yang masih banyak, seiring banyaknya pendaki yang naik. Beberapa jalur membentuk sebuah ceruk-ceruk dalam, akibat erosi air hujan.

Dalam perjalanan, aku menyaksikan sebuah fenomena pendakian yang sangat menggelitik. Serombongan orang berjalan dengan santainya. Ada yang hanya memakai sandal jepit karet, dan ada pula yang bertelanjang kaki. Ah, fenomena apa lagi ini? Apakah trend yang sedang terjadi?

Aku baru ingat, ini bulan maulud. Dan gunung Gede adalah salah satu dari sekian gunung dengan situs pemujaan yang masih sangat terjaga tingkat mistisnya. Belum lagi gunung gumuruh, disebalah utara gunung Gede. Yang membentuk sebuah lembah panjang Surya kencana.

Itulah mistis dan kepercayaan. Masih sangat erat melilit kehidupan masyarakat Indonesia.

Antara yang gaib dan yang nyata
Memang hanya ada sebatas kabut melapisi

Sepanjang perjalanan, beberapa pendaki masih aku temui. Ada yang memang pendaki, ada juga yang kelihatan main-main. Perlengkapan sekedarnya, dan sangat memprihatinkan. Sementara dalam pendakian, bukan hanya fisik yang kuat yang di haruskan, namun juga perlengkapan yang memadai, logistic dan manajemen yang baik. Semuanya menjadi satu-kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Skill tanpa peralatan juga mustahil. Dan tanpa didukung logistic yang cukup hanya akan mati cepat.

Udara semakin dingin. Malam merangkak naik dengan cepat. Menjelang magrib, kami break untuk istirahat. Kemudian melanjutkan perjalanan setalah lima belas menit. Lutut rasanya kaku. Kaki sudah sangat lelah. Dalam perjalanan kami di kejutkan oleh serombongan remaja umuran SMA yang terpaksa membasecamp dengan hanya menggunakan flysheet dan lilin dari bantuan pendaki lain. Ada kira-kira 10 orang dalam satu flysheets.

Salah seorang dari mereka mendekati kami. Dan meminta pertolongan. Rupanya, beberapa rekan putri dari mereka terkena penyakit ketinggian, dan juga sesak nafas. Oksigen yang kami bawa, ada di depan. Di rombongan pertama, yang dalam kontak radio sudah merapat ke alun-alun timur Surya kencana. Harus ada yang dilakukan, batin ku. Kemudian, salah seorang dari mereka bercerita, bahwa semua peralatan yang mereka bawa, sudah berada di alun-alun timur. Oleh rombongan pertama. Tanpa jaket, tanpa penerangan, tanpa makanan, ah..apa jadinya. Beruntung ada beberpa pendaki, yang memberi coklat dan makanan ringan.

Seorang dari mereka, aku suruh untuk turun begitu keadaan memungkinkan. Danjika kondisi benar-benar gawat.

Apalagi ini, batinku. Pendaki-pendaki seperti ini, berkeliaran di gunung. Mempertaruhkan nyawa, entah demi apa. Dengan skill dan pengetahuan yang sangat kurang.

Menjelang jam sembilan, aku menginjakkan kaki di surya kencana. Pekat. Kabut menampar seketika. Hembusan angin berkekuatan sedang menerjang. Kami adalah rombongan terakhir. Ada lima orang. Seorang diantara kami benar-benar sudah mengalami disorientasi. Dingin dan basah, sertapekat dan lapar. Berpadu sepserti pusaran awan yang membelah ditengah-tengah kepala. Pandangan kabur. Dengan jarak pandang hanya sampai lima meteran, kami menembus badai. Radio komunikasi kami aktifkan. Himbauan untuk stay di alun-alun timur diacuhkan. Tak ada pilihan. Semua anggota entah sudah berada disana atau tercecer. Yang pasti aku adalah rombongan paling akhir.

Udara makin menggigit. Ketika sampai dialun-alun barat, kami berlima mencari lokasi tenda yang sudah disiapkan porter. Hanya aku dan seorang teman yang harus bersusah payah mendirikan tenda. Jadilah kami mendirikan tenda dalam kabut tabal dan perut lapar. Sesudahnya, mata tak bisa berkompromi. Kami tertidur dengan pulas.

Dalam belaian kabut malam
Aku menggumamkan sebuah nama
Yang selalu menguatkan aku, pada setiap kali luka mendera
Pada setiap kali gundah meraja
Nama yang agung
Asma yang indah

Minggu 9 April 2006,
Ssehari penuh dalam belaian taman sang Eyang
Kabut Indah menyelimuti permukaan ajaib dataran luas penuh keajaiban, bernama Surya Kencana. Hamparan pohon edelweiss menghampar diantara merah nya pucuk-pucuk cantigi. Mentari enggan bersinar. Awan kelam masih menggantung merata diatas cakrawala. Hari ini akan mendung seharian, pikirku. Namun sekejap mentari menyapa. Menyegarkan segenap penjuru bumi di cekungan antara Gumuruh dan Gede ini. Hangat.. Dan mesra. Peserta yang lain masih sibuk dengan aktifitas masing-masing. Menikmat kesejukan udara pagi yang melenakan untuk sekedar bersantai-santai.

Memandang Surya Kencana di waktu pagi memang menyenangkan. Hamparan tanah vulkanik membantang dari timur ke barat membentuk satu cekungan besar. Diapit dua buah punggungan yang tidak lain adalah puncak Gunung Gede di sebelah kanan dan Puncak Gunung Gumuruh di sisi satunya. Menjelajahinya, sama dengan menjelajahi sebuah hamparan sabana edelwais luas yang menakjubkan. Jika pada musim bunga, sekitar Juli sampai September, maka mata akan sangat dimanjakan oleh pemandangan indah tiada tara. Kuncup-kuncup edelweiss merekah indah. Bersemu pucat diantara kemerahan pucuk-pucuk cantigi.

Ditengah padang, terdapat sebuah sumber mata air yang menjadi sumber air pokok para pendaki. Meski kondisi nya memprihatinkan, namun hanya itulah sumber air satu-satunya yang bisa di konsumsi.

Kealfaan para pendaki untuk menjaga satu-satunya sumber air yang ada, kerap kali membuat mata gerah.Timbunan sisa makanan merupakan menu utama manakala melangkah kesana. Belum lagi, sisa-saia kotoran para pendaki. Entah, apakah mereka tidak sadar bahwa mereka harus meminum air tersebut.

SIang ini. Udara di alun-alun berketinggian 2600-an meter itu terasa cukup bersahabat. Angin bertiup lembut. Aku menyempatkan diri mencari rombongan team advance yang terpisah. Berputar dari tenda-ketenda dan berteriak. Hampir pecah rasanya pita suara. Pada pandangan berikutnya, aku miris, ternyata memang penuh sesak. Ratusan pendaki menjejali pintu jalur kearah puncak. Tumpukan sampah dimana-mana. Sisa-sisa bakaran api unggun terlihat berserakan. Pemandangan biasa. Namun masih tetap membuat hati miris.

Planning untuk membuat talk show atau sekedar diskusi terpaksa kami batalkan. Diganti dengan sebuah pertemuan singkat, berbicara dalam lima menit, kemudian membuat sessi foto. Sementara seorang perempuan berbaju putih-putih , sudah lebih dulu berkarnafal membuat sesuatu yang berbeda.

Apakah mata salah memandang
Atau hati salah menafsirkan
Kebisuan yang membuat aku mengingatmu
Berjalan menjajari aku…menembus pekatnya kabut
Disisipi temaram bulan
Dilembah ini.

Senin 10 April 2006
Hari Kelahiran Rausulullah yang Agung…dalam perjalanan turun.

Rindu kami padamu ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu ya Rasul
Serasa Dikau disini
**song by Bimbo


Subuh menyapa tanpa permisi. Tak ada suara adzan atau bunyi kokok ayam jantan. Hanya udara yang semakin beku. Dan sepagi ini, kesibukan luar biasa para pendaki berhasil membuat mata yang ogah terbuka tak bisa lagi memejam. Dua teman masih tertidur dengan manis. Aku membuka mata. Pekat. Lampu batre yang di gantung diatas tenda meredup. Udara pengap.

Diluar, beberapa pendaki sudah mulai mengambil langkah untuk kepuncak. Kelompok kami masih dalam persiapan. Pukul empat lebih. Jadwal masih harus di jalankan.

Selang beberapa menit. Rombongan pertama meminta ijin untuk bergerak. Aku hanya menunjukkan jalan sampai dengan pertemuan jalur. Smua bisa diatasi. Hanya ada satu jalur unutk menuju puncak dari sisi sebaleh barat.
Kemudian, satu persatu kami meninggalkan lokasi basecamp. Sarapan yang dibuat seorang sahabat pagi ini menambah stok energi yang hamper habis. Aku melangkah perlahan. Diikuti seorang perempuan yang masih berusaha membawa mimpinya melintas pucuk-pucuk pinus yang tinggi. Meninggalkan segala kedukaan dibelakang,

Menjadi sweeper membuat aku tersadar, bahwa ada tanggung jawab besar ditempatkan dipunggung ini. Meski menjadi leader atau middle sama-sama penting. Tapi, ini adalah pendakian yang penuh hikmah buatku. Nafas ku memburu. Degup jantung memacu dengan keras. Langkah kaki mulai memberat. Sementara semangat harus terus di pacu. Hingga puncak tiba. Dalam komunikasi radio, rombongan sudah semanya berkumpul. Sudah jam 7 lebih empat belas. Ah, setengah jam yang lalu aku dan rombongan masih berada di sana. Dianara rimbunan pucuk cantigi yang tinggi.

Puncak gunung Gede masih seperti dulu. Selalu dan selalu menawan untuk didaki. Seorang perempuan menangis haru. Rombongan pertama sudah bergerak turun. Aku dan beberapa teman masih asik menikmati kabut yang pecah diatas gn Pangrango. Dan lebatnya pohon-pohon yang membungkus tebing Sela. Doa ku, aku ingin kesana. Sela.

Pemandangan menakjubkan tercipta indah didepan mata. Udara tipis berhembus. Angin sepoi membelai. Kami adalah rombongan terakhir yang turun. Beberapa porter memang menunggu kami. Namun, tentunya mereka membawa tanggung jawab berat unutk mengangkut carrier-carrier kami yang dititpkan. Sudah pukul sembilan. Dan kami harus segera bergerak turun.

Tuhan
Dalam termangu aku masih menyebut nama-Mu
**Chairil Anwar**

Menuruni gunung Gede melalui jalur cibodas, memeng mengasikkan. Begitu banyak yang akan bisa kita jumpai. Perbedaan yang mencolok dengan jalur Gunung Putri yang kami pakai untuk naik. Meski jarak tempuh yang relative lebih lama, namun tak lengkap rasanya jika mendaki ke sini hanya lewat satu sisi saja.

Melintasi medan curam, fenomena tanjakan rante, atau tanjakan setan, Pos kandang Badak yang selalu ramai. Yang merupakan jalur pertigaan untuk menuju puncak Gede dan puncak Pangrango. Melintasi medan air panas yang hanya bisa di jumpai disini. Serta beberapa air terjun yang elok.

Menjelang sore, hujan mengguyur dengan deras. Seorang teman kami mengalami kram di bagian lutut. Jadilah ia berjalan kesakitan menuruni jalur berakar dan batang-batang kayu yang melintang. Badai yang terjadi hamper sepanjang hari, rupanya membuat jalur tertutup oleh patahan batang-batang pohon dan ranting-ranting. Banyaknya pendaki yang naik, membuat jalanan becek dan membuat harus ekstra hati-hati.

Magrib menjelang. Panyangcangan adalah pos istirahat kami waktu ini. Tak ada pilihan lain. Melanjutkan perjalanan menjelang magrib, akan membuat badan sangat tersiksa. Kami beristirahat di sini. Melepaskan kepenatan perjalanan dalam hujan dan lapar.

Sebatang rokok pemberian seorang kawan menyegarkan ku. Aku menarik asapnya dalam-dalam. Seakan berusaha mengisi seluruh rongga yang ada diparu-paru dengan racun nya. Tak apalah. Aku memang sangat membutuhkannya saat ini.

Lintasan berikutnya, adalah kanopi yang dibangun pihak taman nasional. Tak terasa, malam semakin larut. Beberapa teman menjemput kami. Memberikan sebatang rokok, jaket dan penerangan. Sebuah penghargaan akan keberadaan kami. Betapa mereka khawatir dalam perjalanan ini.

Jika aku yang harus menemui ajal ku lebih dulu, kawan
Maka aku akan mintakan surga yang luas kepada Tuhan untuk mu
Namun jika aku yang lebih lama menikmati udara pagi
Akan aku beritakan kepada dunia
Bahwa kau sahabatku
Bahkan lebih

Pendakian kali ini berjalan dengan aman. Meski target waktu tak tercapai. Namun itu sudah tidak penting. Keselamatan adalah yang utama. Kami pulang dengan haru. Sejuta pelajaran hari ini membuat aku semakin sadar. Bahwa manusia diciptakan menurut kemampuannya masing-masing. Bahwa keseombongan sebagai individu hanya akan membuat dirikita tidak berharga.

Ada yang baru pertama kali naik, namun berbekal semangat dan cita-cita luhur untuk memuji kekuasaan-Nya, perjalanan ini menjadi mudah.

Angin
Tolong bisikan kepada ibu di rumah
Aku, berusaha membunuh kesombonganku
Dan sebagian, sudah aku buang jauh
Pada dinding-dinding kawah gunung Gede.

NFH 3 menjadi sebuah cerita indah buatku. Kebersamaan, Persaudaraan. Perasaan sepenanggungan. Ada makanan yang di bagi. Ada minuman yang di bagi. Ada keceriaan yang terjalin erat bersama kabut.

***habis**
Boim Akar, say thanks to:
Allah SWT, terimakasih untuk menjadikan ku hamba-Mu yang berfikir.

Rasulullah SAW, yang menjadi teladan ku mengarungi kehidupan. Terima kasih untuk sifat sabar dan pemaaf yang Kau ajarkan.

Emak, untuk cinta yang kau titipkan lewat restumu, saat kau usap kepala ini

Natrek Indonesia, Fey, Andre…untuk kepercayaan kalian kepada ku menangani event besar ini.

Panitia NFH3+ , Enoy, Ismi, Irma, Vera, Rep2, Heri, Sam, Sentot, Yitno, Mbak Utari, Komeng, Deden, Jaka, dan semuanya. Untuk susah-payah jatuh bangun dalam membuat event ini bermaksa. Kalian adalah keluargaku..selamanya.

Kissin, adik ku, satu-satunya. Saat harus berbuat sesuatu, lakukan dengan ksesungguhan, sebab kesempatan kedua belum tentu membuat bahagia. Jangan menyerah.

Pak Agus Kodamar. Transportasi yang selalu siap dan siap.

Montana, yang selalu direpotin, jika ada pendakian. “Kang, nuhun pisan. Koreksinya, omelannya, dan semuanya,”

Semua Peserta NFH3+, yang tak bisa tersebut satu-satu.. Kalian adalah mimpi indah dalam pendakian ku

1 Comments:

At 8:22 AM, Anonymous Anonymous said...

pendakian kali ini berkesan sekali ya?

 

Post a Comment

<< Home