Saturday, September 11, 2004

PENDAKIAN TERAKHIR

PENDAKIAN TERAKHIR
Suasana terminal itu masih tetap seperti dulu, tak banyak yang berubah. Masih menyiratkan kesibukan yang sangat dengan lalu-lalangnya mobil-mobil antar kota antar propinsi yang menaik dan menurunkan penumpangnya menuju dan dari tempat tujuan. Ada deretan bangku di sebelah barat, yang dulu pernah kami pakai bercerita semalaman. Yah...semalam suntuk. Kami. Itu pula alasan ku untuk kembali ke kota ini. Kota yang sudah yang aku tinggalkan sejak beberapa tahun yang lalu. Yang tidak pernah aku kunjungi karena kesibukan ku sangat menyita waktu.
Kami dibesarkan disini. Aku, Sidik, Komala, Uni, Wawan, tumbuh dan dibesarkan oleh makanan yang sama, tanah yang sama. Kami bersaudara, mereka semua sepupuku, kecuali Uni yang berasal dari tanah Sumatra, Minang Kabau. Namun entah mengapa kami selalu berlima. Mencari pengalaman dengan memulai hal-hal baru bersama. pangku panjang itu masih seperti dulu, lusuh dekil dan selalu becek dibawahnya. Lamunanku terbang kemasa beberapa tahun yang lalu. Malam itu, aku dan Wawan, mengatarkan ketiga temanku itu untuk berangkat ke Gunung Sumbing. Salah satu dari tiga gunung yang akan kami tuntaskan pendakiannya. Aku dan Wawan menang tidak berangkat, kami hanya mengantar kan mereka sampai mendapatkan tempat duduk di bus.
" Sayang,lu nggak bisa berangkat, Im. Padahal kalo kita berangkat berlima pasti bakalan lebih seru.Kita kan dari dulu udah berlima, kemana-mana pasti bareng. Ke Slamet akhir tahun kemaren, ke Sindoro, ke Gede Pangrango, Ke Ciremai, Lawu, Merbabu, kita selalu bareng. Kenapa sih, kayaknya lu nggak semangat amat akhir-akhir ini."
Sidik terus saja menyerang ku dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri tidak pernah tahu jawabnya. Kenapa aku sekarang jadi orang yang tidak bersemangat, dan lainnya dan lainnya.
" Bukan gitu, Kawan. Lu orang semua tahu kan kerjaan gua. Jangankan untuk libur empat hari kayak besok, lha gua cuman pengen libur satu hari aja susahnya minta ampun. Udah gitu bos gua sekarang lagi rada-rada sensi, jangan kan liat anak buahnya nggak masuk kerja, ke toilet aja di monitor." aku berusaha menjelaskan posisiku di kantor. Belakangan ini memang semuanya amat tidak terkendali. Semuanya sedang berusaha menghadapi hal yang pali buruk sekalipun atas asib perusahaan tempatku bekerja. Makanya tidak heran kalau semua orang jadi amat-sangat sibuknya. Kalau mau jujur sebenarnya bukan itu alasan ku. Entah. Aku juga tidak mengerti.Namun keadaan itu segera lewat, kaena seperti biasa, Sidaik akan mengeluarkan semua jurus lawaknya untuk menghibur kami. Lelucon nya seakan tidak pernah mati, selalu ada saja. Dari hal-hal kecil sampai politik. Ah...Sidik memang temanku yang paling lucu. Supel, simpel dan selalu sederhana.Padahal dirumahnya tiga buah nobil mewah parkir di garasai, toh dia tetap membumi dengan selalu memakai sepeda bututnya waktu ke base camp kami, dirumahku, atau ke pengajian dan sekolah.
Jadilah kami melepas kepergian mereka, setelah menunggu sekian lama akhirnya bus jurusan ke Wonosobo datang juga. Meski penumpangnya kelihatan penuh, teman-temanku toh tetap saja berangkat.
"Mas, kemana mas? Cikarang yah, Bekasi ?....beberapa orang calo angkutan dan ojek silh berganti datang. Membuyarkan lamunanku. Mungkin mereka mengira aku orang yang baru mernatau. Logat asli merka masih sekali terasa. Jadi aku yakin mereka juga orang asli sini. Semuanya aku tolak, dan aku melangkah menuju bangku panjang terminal itu. Kuletakkan tas punggungku di sebalah kanan kemudian aku duduk sambil memperhatikan lalu-lalang orang-orang dan kendaraan. Di kursi ini. Yah...disini. Ah...seandainya tak pernah ada hari itu.
-----Setelah keberangkatan itu, hatiku semakin gusar. Lebih hebat daripada waktu aku melepas mereka di terminal. Aku menghubungi Wawan, dan menceritakan semuanya, malam itu. tentang perasaan galauku. Tapi katanya, itu hanya perasaan cemas ku saja, atau karena perasaan cemburu karena aku tidak bisa ikut ke sana. Perasaan itu kemudian kutepis jauh-jauh. Dalam tahujudku aku mintakan keselamatan untuk mereka kepada Allah SWT. Mungkin karena sudah terlalu lelah dan mengantuk aku jatuh tertidur, kemudian.
-----" Wan, gua harus susul anak-anak. Perasaan gw nggak enak banget dari semalem. Gua takut ada apa-apa."" Udahlah, Im. Lu tuh nggak uasah ngedede-gedein masalah. Lu tuh lagi kacau, lagi nggak bener, lagi sewot, makanya hati lu nggak tenang. Lu nggak percaya ama mereka? Mereka itu udah naek gunung dari semenjak orok, udah lama banget. Mereka itu udah tahu mana keadaan darurat, mana yang nyantai dan mana keadaan gawat dan yang nggak. Jadi nggak ada alasan lu untuk khawatir. MEreka itu bukan pemula, mereka profesional." " Iya. Gw tahu mereka pro. Mereka bukan pemula. Tapi gua ngerasa nggak enak, nggak tenang. Semalem aja gua mimpi, kayaknya mereka ada di tempat yang jauh banget. Nggak kejangkau ama kita, padahal kita udah tereak-tereak. Ayolah, Wan. Lu harus anterin gua ke Wonosobo sekarang juga. Gua nggak perlu omongan lw, kita packing sekarang, dan berangkat. Please, Wan. Dengerin gua kali ini aja."" Ma'di rabit lu. Gak bisa! Gua besok ada kelas. Lu juga bukan nya gawe, besok?"" Ayolah, Wan! Kalo lu nggak mao, gw berangkat sendiri. Pokonya gua harus nyusul."" Ya ampun, ni akan kalo udah ada maonya. Sono aja berangkat sendiri. Gua nggak bisa."" Ya udah. Gua serius, nih. Kalo lu berubah pikiran, gua ada di rumah jam tiga sore berangkat."
Aku mengakhiri percakapan itu sambil berlalu dari hadapan Wawan yang masih sibuk membolak-balik halaman bukunya. Kulirik dia dengan ujung mataku, berharap dia akan berhenti dari belajarnya dan mengejarku untuk kemudian mengatakan, ya aku ikut. Tapi ternyata tidak. Menoleh pun dia tidak. Dengan perasaan berat aku pergi meninggalkan rumahnya untuk kemudian mampir ketoko serba ada dekat rumah. Semua perlbekalan aku siapkan. Makanan, minuman dan semua yanh sekiranya aku perlukan telah berpindah dari lemari kamarku kedalam tas punggung besar kesayanganku. Carrier inilah yang aku bawa-bawa sampai aku bisa menjadi aku yang sekarang. Kenangan bersama nya benar-benar tak bisa dilupakan.
Pukul setengah tiga, dengan diantar seorang teman aku menuju terminal bus antar kota antar propinsi di kota ini. Tujuan ku sudah bulat. Apapun yang akan terjadi, aku harus tetap berangkat. Tanpa atau dengan Wawan sekalipun. Setelah mendapatkan tiket aku pun duduk dibanku panjang dekat pemberangkatan bus kesana. Tap betapa tercengangnya aku mendapati seorang pemudah, dengan celana jeans berwarna gelap dan kaos hitam, duduk dan menatap aku dari kejauhan. Asap rokoknya sesekali dihmbuskan lewat mulutnya berbaur dengan debu dan asap dari sisa pembakaran mesin mobil-mobil di termial itu. Aku tertawa keras dan menunjuk dia dari jauh. Kata-kata makiannya masih sempat kudaengar samar-samar. Sesaat kemudian dia meraih carriernya dan menyandangnya menuju kearah ku.
" Bengong lagi. Udah sono bei tiket. Lu mao gua berdiri dari sini ampe Wonosobo. Rela lu?"
Aku hanya tertawa terbahak-bahak. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Pun kemudian aku aku berjalan ke loket dan kembali berpeluh peluh berusaha mendapatkan tiket ke sana. Raut mukanya itu yang aku tak bisa tahan. Tampak sangat serius, tapi lucu.
" Sebenernya gua sih males ikut," katanya setelah aku berhasil mendapatkan tiket, " tapi karena lu berangkat sendirian, gua nggak tega. Apalagi mereka juga temen gua. Sahabat gua. Jadi ya, terpaksa gua ikut. Terpaksa lho ya. Terpaksa!"
Aku hanya daim dan meninju lengannya.
-------------
"Mas, arep munggah gunung Sumbing, tho? Iseh di tutup kok mas. Ono insiden." Seorang pemuda menyapaku ketika kami menaiki bus kecil dari terminal Wonosobo menuju Garung. Aku penasaran, apa gerangan yang terjadi. Menurut informasinya, semalam yang lalu terjadi badai di puncak Sumbing. Beberapa pendaki terjebak di ketinggian sekitar 2500 meter. Berari di sekitar Pos Pestan dan Pasar Watu, pikirku. Daerah itu memang daerah yang saterbuka dari segala arah. Jadi apabila terjadi badai, sangat sulit untuk menghindar. padahal pagi ini, sesampainya aku di Wonosobo, aku masih bisa melihat keindahan puncak sumbing, dan kemegahan puncak Sindoro di seberangnya. Dua gunung yang oleh para pendaki di anggap sebagai gunung kembar yang menakjubkan.
Benar saja, sesampainya di base camp aku melihat banyak SAR dari Masyarakat dan dari beberapa Mapala berkumpul. Beberapa orang sedang sibuk berbicara dengan radio. Polisi-polisi juga banyak berkumpul. Aku memandang Wawan. Mukaku terasa panas terbakar. Serta merta Wawan berlari menuju kearah para polisi dan beberapa mapala yang sedang berdiskusi.
"Pak, ada apa? Apa yang terjadi? " Wawan bertubi tubi menanyai seorang anggota SAR yang sedang berbicara dengan temannya lewat radio. Seklas orang ite memandang Wawan. Keudian mulai menjeaskan."Adik mau naik? Gunung ini masih dinyatakan tertutup sampai waktu yang belum bisa di pastikan, dik. Lebih baik adik mencari alternatif lain. "Apa yang terjadi, pak? Kenapa di tutup?"" Kemarin sore sampai malam terjadi badai yang sangat hebat dari arah Timur dan selatan. Dan beberapa pendaki terjebak di sana. Kami sendiri sedang berusaha mengevakusai mereka."
Deg. Terasa ada puluhan ton pasir yang menimpaku. Lututku bergetar. Aku lemas. Kulihat Wawan hanya menganga saja. Aku bener-benar mati rasa. Badai? Bagaimana bisa? Sedangkan hari ini, udara cerah sekali. Aku malah bisa melihat jalanan dengan jelas di punggungnya.
"Kalian baik-baik saja?" Tiba-tiba orang tersebut menyadarkan kami dari lamuan. "Teman kami, pak. Teman kami kesini kemarin. Terakhir kontak kami lewat sms, mereka akan naik pagi kemarin. Pun kami kesini untuk menyusul mereka. Apakah mereka juga terjebak disana?""Kalau imformasi itu, adik bisa menanyakan pada bagian pendataan di sebelah sana.!" Katanya, menunjuk dua orang perempuan berjilbab yang sedang menuliskan sesuatu pada kertas-kertas yang mereka bawa.
"Permisai, mbak." kataku datar."Ada apa, mas?""Apakah Sidik, Komala, dan Uni ada dalam daftar nama korban atau yang belum di temukan. Dari Bekasi. Ada mbak?""Tunggu, yah. saya periksa dulu."Kemudian gadis itupun membolak balik kertas daftar namanya, dan kemudian memerikasa nya satu-persatu. Rasanya lama sekali menunggu jawaban dari gadis menyelesaikan tugasnya. "Ada, mas! tapi hanya dua, Sidik dan Komala. Siapa taadi yang ketiga?"Uni atau Yuni."" Oh, iya ada, dari Bekasi kan.! Mereka masih terjebak diatas sana"
Ya Allah. Jadi perasaan dan kegelisahan ku adalah pertanda ini. Wawan merangkul bahuku, dan berbisik untukku supaya istigfar. Karena belum tentu ketiga teman kami akan mendapat musibah.
Waktu berjalan sangat lambatnya. Tiap detik terasa sangat menyiksa. Hilir mudik petugas Sar dari Mapala dan kepolisian membuat tempat ini seakan menjadi rumah sakit dadakan. Koraban yang pertama samapai di bawah adalah seorang perempuan dengan memakai jaket warna kuning. Dari Semarang. Dia bersama rekan-rekannya selamat dalam badai karena memang berada tidak jauh dari pos pendakian pertama. Dari keterangannya, dia bercerita bahwa badai selama sekitar sepuluh jam, disertai kabut tebal, datang tiba-tiba tanpa terduga. Dia juga masih sempat menengar teriakan dari atasminta tolong. Sementara Jeritan pluit juga terdengar dari ketinggian yang entah dimana berada. Hatiku tambah miris mendengarnya. Sementara dugaan-dugaan mulai muncul dibenakku. Jika begini, kalau begitu. Wawan pun rupanya hanya duduk tertunduk lesu di sebelahku. Aku tidak lagi perdulikan rasa lapar yang menyerang. Pun haus yang sudah sejak pagi tadi terasa. Satu-satu kesabaran itu aku bangun. Mulutku tak pernah sepi dari doa dan istigfar. Hatiku berzikir, karena hanya itu yang bisa kami lakukan sekarang.
Menjelang ashar, tim SAR sudah mengevakusi sekitar lima belas orang. Dari Jogja, Semarang, Kebumen dan daearh daerah lainnya di sekitar Jawa Tengah. Tapi belum ada kabar juga tentang ketiga temanku."Wan, mudah-mudahan mereka gak apa-apa yah. Semoga mereka bisa survive." "Amin! Gua cuman bingung kenapa mereka nggak membatalkan pendakian sementara hari mulai berkabut. Gua jadi nggak ngerti kenapa.""Tapi, menurut gadis Jogja tadi, memang cuacanya berubah drastis pada sekitar pukul tiga sore, dan mereka, dari data di tempat pendaftaran sudah naik dari semenjak pagi, sekitar jam 10:00, jadi kemunginan mereka akan sampai di pestan kayaknya gede banget, Wan""Daerah itu emang yag paling ganas kalo menurut gua. Kita berdoa aja deh, Im. Semoga mereka gak pa-pa.!"
----------------
"Im, bangun! Hey..bangun..!" Wawan mengguncang tubuhku dengan sagat kasarnya. Setelah menunggu seharian ternyata aku tertidur di base camp. Dan Wawan tidak mau membangunkan ku.Aku berusaha bangun sambil mengucek mataku beberapa kali. Ingatanku kembali jernih. "Kenapa? Ada apa? Sorry, gua ngatuk banget. Jam berapa sih?""Sebelas. Udah jangan banyak omong. Sekarang cepet ikut gua.""Kemana?""Bawel. Ikut aja, ayo."
Setengah malas aku ikuti langkahnya yang berjalan tergesa-gesa dari base camp. Langkahnya cepat, seolah ada hal penting yang sangat mendesak. Pikiran ku kembali kepada tiga orang sahabatku. Apakah mereka, pikirku. Tapi semuanya aku buang jauh-jauh. Mungkin Wawan akan mengajak ku makan, karena seharian kami hanya makan roti yang kami bawa dari rumah.
Di sebuah rumah penduduk, aku melihat beberapa orang berkerumun di depan pintu.Sudah jam sebelas dan orang masih ramai. Bebrepa petugas SAR masih kelihatan mondar mandir disana. Wawan menyibak kerumunan orang dan berusaha masuk. Aku mengikutinya dari belakang. Jantungku terasa berhenti mendapati dua orang temanku disana. Uni dan Komala. Mereka menghabur kearahku. Aku berusaha menenagkan mereka. Mereka Menatapku dan tangis kami bertiga pun pecah di ruangan itu.Masih bisa kulihat ada beberapa luka diwajah mereka. Telapak tangan Lalapun masih di balut kain putih. Wawan hanya memandang kami dengan sorot matanya yang tajam. Aku mengusap kepala dua sahabatku itu. Kemudian aku mulai sadar, bahwa Sidik tidak ada. Setelah semuanya tenang aku mulai bertanya."Sidik diamana, La? Sidik mana?"Tapi tiba-tiba Uni menangis lagi. Aku jadi bingung. KEnapa semuanya membisu. Wawan menrangkulku dan kemudian mengajakku kerauangan dalam. "Kemana Sidik, Wan?" tanyaku.Tapi Wawan terus saja diam. Kemudian dia berhenti. Matanya teryuju lurus kedepan. Ada beberapa orang pendudk sedang duduk di depan sebuah benda terbungkus kain. "Ngapain kita kesini, Wan? Gua tanya dimana Sidik." Aku mengguncang kan bahu Wawan. Ada bening mengalir lewat mata tajamnya. Baru sekali ini aku lihat dia menangis. Setahuku, tak pernah dia menangis walau pun sedang ditimpa kesulitan seperti apapun."Itu Sidik, Im. Dia nggak bisa survive." Katanya pelan.Aku menggeleng, tangisku pecah. Kemudian aku berjongkok dan membuka kain penutup benda di depanku. Aku hampir tak percaya. Dia bener Sidik. Kakiku bergetar. Aku tidak sanggup walau hanya untuk berdiri. Kutatap wajah Wawan dan dia menganguk. Seakan mengiyakan, jika yang aku lihat itu adalah benar dan bukan mimpi. Ku tampar sendiri pipiku, dan aku tahu bahwa ini bukan mimpi. Ini benar-benar terjadi.
Wawan kelihatan lebih tegar tapi, air matanya masih menetes di pipinya. Entahlah. Yang pasti, aku, Mala, Wawan dan Uni masih sama-sama bingung harus bagaimana. Antara sedih dan takut. Juga perasaan bersalah membiarkan mereka pergi bertiga saja.
" Iman, lw udah telepon keluarganya Sidik, belum?"Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari mulut Wawan. Pertanyaan yang sangat aku tajutkan. Apa nanti yang harus aku bilang kepada ayah dan ibunya Sidik. Apa yang harus aku jelaskan. Bagaimana juga sikap Siti, adiknya yang sangat dia sayangi, yang selalu dia banggakan. Adiknya satu-satunya. Bagaimana juga jika kedua orang tuanya tidak menerima, kemudian menyalahkan aku, kemudian menuduh aku yang membunuh anaknya, karena membiarkan anaknya naik tanpa aku temani? Kemudian......kemudian....?!!Sahabat macam apa aku ini?"Udah, Im. Lu nggak udah khawatir, kita jelasin aja apa adanya." Kata Wawan kemudian, seolah tahu apa yang sedang berkecamuk dalam otakku. Aku menatap wajah ketiga sahabatku dan mereka mengangguk hapir bersamaan. Artinya mereka akan ada dibelakangku jika ada pertanyaan pertanyaan yang menyulitkan. Terima kasih kawan, kataku dalam hati."Oke!" jawabku singkat. Dan kemudian aku bergegas mengambil HP dari dalam tas pinggangku dan pergi keluar untuk mencari signal yang lebih kuat. -----------------------Bunyi ambulance mamecah keheningan malam. Perjalanan dari Jakartr sampai Wonosobo ternyata mereka tempuh dengan jalan darat. Sesampainya keluarga Sidik disini, kami semua tak bisa menahan haru. Demi melihat kesedihan yang terpancar dari wajah pak Rasyid dan Bu Aminah, ayah dan ibunya Sidik. Berhamburan kami menyalami mereka berdua. Ayahku dan ayahnya Lala juga menyertai rombongan. Kusalami tangan ayah, dan beliau mendekapku erat.Tak kuasa aku menahan tangisdi pelukannya. Tangan nya yang hangat membelai pundakku sambil membisikkan satu kalimat doa. "Sudahlah. Yang pergi tak akan pernah akan kembali. Dan kita pun sebenarnya hanya menunggu wakt saja. Hanya caranya yang berbeda, Disini dan di manapun akan sama saja. Bahwa maut memang dekat dengan kita. Sudah lah! Relakan, Sidik!"Perasaanku bertambah lega. Seakan ada tetesan air sejuk yang mengalir dengan manisnya dari ujung kepala hingga jemari kakiku.
Malam itu juga jenazah Sidik dibawa pulang. Kami semua pulang ke Bekasi.---------------------------
"Mas..air minumnya,mas. Tissue nya, mas!"Suara seorang pedagang asongan membuyarkan lamuanku. Ah..kutarik nafas panjang, entah apa maksudnya. Tapi bayangan itu selalu saja hadir dalam mimpi-mimpiku sampai aku memutuskan untuk pindah ke luar kota, hingga semakin dekat dengan gunung itu. Dan disana juga saya berasa dekat dengan sahabatku tersayang.Sidik.Pun akhirnya aku membeli beberapa permen dari nya. Kuhisap satu dan sisanya kumasukkan dalam saku celana.
MAtaku menerawang. Entah. Tapi yang kutahu adalah langit sore telah berwarna jingga, dan azan magrib sudah berkumandang. Ku gapai ranselku dan melangkah meninggalkan areal terminal kecil itu, menuju sebuah mushola kecil disudut jalan. Melepaskan segala lamuan masa laluku dan kemudian pasrah keharibaannya. Aku tahu bahwa mati pasti datang. Disini, digunung atau dimanapun. Tapi setidaknya persahabatan kami tetep akan bertahan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home