Thursday, August 31, 2006

Ayah, aku rindu jadi anakmu

Ayah...semalam engkau datang
dengan kuda putih berjubah putih
mendekat dengan sorot mata penuh
tak bicara

Tangan yang terulur kaku
menarik aku bersamamu
namun tak dapat kuraih juga
keperkasaan itu

Ayah,
matamu berkaca sesaat
bibirmu berucap tak dapat aku terjemahkan
apakah itu bangga
atau sesal?

Monday, August 28, 2006

Jangan Bangunkan aku Pagi Ini, Bunda

Aku capek

mata ini sudha terlalu banyak melihat
hingga otak tak mampu lagi merekamnya
kaki ini sudah terlalu jauh berjalan

aku mau tidur
melapas penat yang lama sudah menggunung
menyingkirkan ribuan desing pertanyaan tanpa jawab
merasai kehangatan dari balik sleeping bag merah
pada kasur tak berbantal

jangan beri aku mimpi
aku tak sanggup
biar malam ini aku tidur sekelam banyangan hutan
dan meringkuk tanpa harus dikejar mimpi
aku takut bermimpi

aku capek
aku mau tidur
panjang
dan tak kembali ke fatamorgana
bawa aku tidur panjang

bunda
jangan bangunkan aku pagi ini

Pada Lembah Keterasingan

Dimana larinya buih perasaan
apa masih ada?
apa masih kopi terasa kental pada lidah yang luka
dan pekatnya mengotori kemeja putih tanpa noda

pada persimpangan berarah tiga
dia menunggu dengan senyum termanisnya
melambaikan tangan nya yang lembut
ada bunga mawar pada satu tangan yang lainnya
merah dan segar
wanginya bisa aku cium dari sini

namun pada satu sisinya
aku melihat ketabahan itu melesat
menatap tajam melindungi
hampanya perasaan karena luka lama
masih dan masih berbekas
kau tawarkan kehangatan dan perlindungan
kasih yang belum pernah ku dapat

Dua arah membuat aku terpelanting
antara melindungi dan dilindungi
antara dibelai dan membelai
antara kesucian dan penghianatan

aku lari
mundur pada jalan berismpang tiga
tanpa tahu arah

Pelacur Muda itu Bernama Arini

adakah yang lebih tajam dari sorot mata elangnya
membelah tiap saraf dan menghentikan aliran darah
hingga otak tak mampu membedakan
antara bisikan iblis durjana dan malaikat yang memperingatkan
dalam malam penuh gairah

adakah yang lebih halus dari telapak tangannya
mengusapkan ujung-ujung jarinya
pada bibir di mulut yang terus mendesah
merasakan dan memisahkan antara bencana iman
dan kenikmatan tiada tara

arini
belia memang bukan masalah disana
dalam remang ruang diantara hingar-bingar
suara musik diluar

arini
mata yang terpejam
untuk sebuah kata sama-sama
meledakan timbunan resah yang lima menit lalu
memburu seperti serigala di padang rusa

ajari aku jadi sejati
arini

Saturday, August 12, 2006

Merdeka

merdeka itu
bebas
tanpa ikatan
nggak wajib lapor
nggak ada tuntutan
nggak ada tedeng aling-aling

merdeka itu
melayang tanpa takut membentur
bicara tanpa takut di gempur

membelakakan mata tanpa takut akan di sebor
meneriakan nyanyian2 tanpa takut akan di gedor

tanpa kurungan baja
rantai mengikat kaki
dan tusuk gigi nempel di lidah

Monday, August 07, 2006

Terusir

Dalih apa yang akan kau buat hari ini
tika malam belum lagi naik
dan kau dengar dentuman keras memecah gelap
membuyarkan dengan cahaya menyilaukan
menggetarkan kaki dan meretakkan dinding rumah kami
yang belum lagi di aci

Justifikasi apalagi yang akan kau kabarkan pada dunia
ketika kemudian rumah kami rata
anak kami terkapar
dadanya hancur dan kepalanya remuk
listrik dan air kami mati
makanan kami hilang
kebebasan kami kau rampas
kehormatan kami kau injak-injak seperti debu

Mengapa dendam tak pernah usai pada hatimu
mengapa nurani menjadi mati pada matamu
mengusir kami dari tanah kelahiran kami adalah keji
itu kejahatan paling menyesakkan
ketamakan yang melebihi srigala

Biar Aku yang Mati

Biar aku saja yang mati....kamu jangan

sebab tulangku sudah mulai lemah
kulitku sudah mulai keriput
mata merabun
langkah mulai gontai
tak ada lagi harapan tersisa pada bilur kisah hidupku

Biar aku saja yang mati....kamu jangan

kamu masih teramat manis
binar matamu masih secerah embun pagi
yang berkilau pada pancaran mentari
riangmu akan membawa keceriaan pada dunia
dan kibar rambutmu akan menjadi payung bagi nusapada

Biar aku saja yang pergi....kamu jangan

aku sudah tak mampu lagi bercerita
seperti kemarin-kemarin
saat oceh ku selalu membuat kau menutup kuping
tawaku seringkali membuat kamu muntah
tapi aku selalu bercerita-dan bercerita

Biar aku saja yang pergi....kamu tinggal

kini waktunya kau yang berbicara
menceritakan betapa kita dulu pernah disini
menapaki puncak-puncak tinggi mengores awan putih menjadi kelambu
dan berjalan gontai pada beceknya hutan pinus

Biarkan aku yang pergi .... kau yang bercerita

Bahwa kita punya cita-cita
dan kita berusaha

---boim akar---
buat sahabat yang mati di tanah tertinggi