Sunday, October 30, 2005

Kisah Keluargaku- Reafa- Hidup Itu Sepi Tanpa Celaan

Kisah Keluargaku- Reafa
Hidup Itu Sepi Tanpa Celaan

Hujan rintik-rintik turun. Langit gelap diluar. Sang raja siang terusir dikudeta oleh petir dan gerimis yang mengejek. Menebarkan sejuk menggantikan panas yang dari tadi pagi menyengat.

Reafa mematikan komputer dan menyelesaikan sisa pekerjaannya. Dia menutup laci meja kerjanya, kemudian menguncinya. Menarik anak kunci dengan gantungan beberapa souvenir gunung-gunung Indonesia, baik yang sudah pernah didakinya, ataupun sekedar oleh-oleh dari teman. Bunyi germerincing sesaat terdengar. Meski kecil,tak ayal membuat teman sebelahnya mengengok.

“ Dah mao pulang lu, Fa? Tumben gini hari? Mao kemana lu” kata Acil, teman sekantornya.
“ Mao tahu ajaa….!” Reafa menimpali. Seraya meninggalkan ruangan. Cuek dengan Acil yang menggerutu panjang pendek buat dia.

Angin sepoi membelai wajahnya. Hawa sejuk pendingin ruangan berganti dengan hembusan yang lebih sejuk made in Sang Pencipta. Reafa memejamkan matanya sejenak. Kemudian megusap mukanya. Tetesan air dari langit menciptakan irama monoton yang indah. Reafa mengenakan jaketnya. Hari ini ia sengaja pulang lebih cepat, karena ada sesuatu hal. Sebuah urusan yang menurutnya penting tidak penting. Dibilang penting, tapi disana ia hanya akan berjumpa beberapa kawan barunya dari sebuah komunitas pencinta jalan-jalan, yang sebenernya bertentangan dengan mereka yang rata-rata pendaki gunung. Untuk kemudian makan minum seadanya. Ditempat yang pernah di olok “tidak manusiawi” oleh yang lain.
Dibilang tidak penting, tapi ia akan mendapatkan kebahagiaan jika berkumupul dengan mereka. Mereka yang sangat perhaitan. Solider. Setia kawan. Dan yang penting ada yang selalu membuat suasana segar. Tapi disana ia selalu di cela. Jadi bahan olok-olok.

Reafa memicingkan matanya, seolah hendak menghentikan laju pikirannya. Yah, menganalisa kembali apa keuntungan dan keburukan berkawan dengan manusia-manusia yang sangat doyan bercanda, mengolok sesama, atau kalau yang paling parah jika sudah mengeluarkan umpatan-umpatan yang ada dikepala mereka masing-masing. Rasanya, cuma ia yang selalu di olok. Entah, apakah itu disayangi atau memang hati mereka semua tertutup untuk melihat hatinya.

Reafa tersenyum.

Sudahlah, pikirnya. Ia akan tetap datang. Meski hujan dan sejuta perkataan yang membuat telinganya sakit akan ia terima dan akan selalu ia makan sambil tidur. Dimasukkan kedalam lemari besi diotaknya,kemudia dikunci hingga tak ada yang tahu atau berusaha mencuri. Cukup ia yang merasakan perasaannya. Dia dan seorang lelaki dalam lamunannya.

Ah, kenapa ia selalu dibuai perasaan. Kenapa ia selalu menganggap lelaki itu suka kepadanya. Pria yang di mata Reafa begitu sempurna. Gagah, mapan dan yang penting, hoby nya sama dengan mereka. Naik gunung, titik. Jika semua itu sudah terangkum jadu satu, nampaknya semua hal dambaan kaum wanita menjadi absurd buatnya. Dia tidak akan peduli pada kulit yang putih, atletis, rambut ikal atau lurus dan lainnya. Yang ada diotaknya hanya jika sudah menjadi seorang petualang, buatnya sudah cukup. Cita-citanya kelak adalah membawa keluarganya, suami dan anak-anaknya kelak, mendaki puncak pangrango dan Semeru di Jawa Timur.

Menyadari semua itu, hatinya miris. Kenapa pikiraannya selalu dihantui perasaan itu. Aku hanya bertepuk sebelah tangan, batinnya menggumam lirih. Sudahlah, jangan dibuat persahabatan yang manis ini ternoda hanya gara-gara hati yang belum bisa disatukan, batinnya kemudian.

Hujan menyisakan rintik-rintik kecil diluar. Tetesannya sudah tidak sehebat tadi. Genangan air nampak membanjiri beberapa lubang dijalan yang memang sudah banyak yang bolong. Kadang terciprat dengan keras kesamping jika sebuah sepeda motor atau mobil melindasnya. Pemandangan biasa yang mengasikan untuk diamati. Diseberang jalan sana, deretan warung-warung penjual makanan masih tidak terusik hujan sepertinya. Lalu-lalang pembeli, kadang bisa bertambah disebabkan hujan. Sebentar lagi magrib. Jadi ia harus bergegas pergi.
Lembayung sore bermain dengan manisnya bersama pelangi. Goresan warna-warna spektakuler yang sampai saat ini masih menjadi sesuatu yang sangat indah dimatanya. Pikirannya menerawang jauh kekampung halamannya. Dulu, ia sering kali betah berlama-lama berhujan-hujanan diatas bukit kecil belakang rumahnya, karena ingin menyaksikan pelangi sesudahnya. Dan ia akan selalu jadi yang pertama dan terakhir disana.

Reafa mengeluarkan motornya dari parkiran. Memakai jaketnya dan mengenakan helmet putih pemberian dealer tempatnya membeli motor. Motor baru. Desain sporty dengan warna yang menarik.

Dipacu motornya melintasi jalan basah sore itu. Dia tidak boleh terlambat, pikirnya. Kalau tidak mau dijuluki Miss Late. Ini kesekian kalinya Reafa berkumpul dengan teman-teman barunya. Teman-teman yang selalu mengisi hari-harinya, entah dengan email japri atau YM. Beberapa taman yang beberapa bulan ini mengisi hari-harinya. Mengisi kebisuannya dahulu.

Reafa memacu sepeda motornya melintasi jalan-jalan protocol ibu kota yang mulai ramai. Kesibukan sore hari Jakarta. Bus-bus mulai diserbu para penumpang yang akan mengantarkan mereka pulang. Setelah seharian bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Udara dingin bercampur dengan polusi dari knalpot-knalpot yang meraung-raung. Macet sudah terjadi dibeberapa ruas jalan. Sementara beberapa polisi berusaha menjalankan tugasnya mengatur lalu lintas yang semakin padat.

Mengatur lalu lintas? Pikir Reafa.
Mereka hanya mencari sampingan pengasilan. Lihat saja beberapa menit lagi, pasti ada satu dua penumpang sepeda motor yang apes. Bukan karena mereka melanggar peraturan lalu lintas. Tapi tepatnya mereka apes. Sehingga dupuluh sampai limapuluh ribu rupiah harus berpindah tangan dalam jepitan tangan atau diselipkan dalam STNK. Entah kebobrokan personal, atau memang borok menahun dari dulu. Sampai saat ini pun ternyata masih banyak yang meragukan hal itu. Raeafa membatin.

Telepon genggamnya berdering. Vibratenya mengagetkan dia yang sedang berkonsentrasi diatas sepeda motornya. Biarlah, pikirnya. Nanti saja di cek, siapa yang menghubunginya tadi. Toh, dalam hitungan kurang dari seperempat jam ia akan sampai di lokasi tempat mereka biasa bertemu.

Senayan masih belum terlalu ramai. Jam baru menunjukkan setengah tujuh. Meski begitu, seiring dengan merangkaknya malam, kegiatan di ring road Senayan akan melaju. Beberapa remaja melewatinya dengan tawa keras dari dalam mobil. Jendala mereka dibuka. Borjuis. Batinnya. Dia memacu motornya pelan-pelan. Rodanya meninggalkan sebiah garis panjang basah. Tanpa putus.

Dalam beberapa menit, Reafa sampai di meeting point mereka. Pintu tujuh senayan. Tempat segala macam aktivifas malam berlangsung. Dari aerobik, lari, sampai hanya untuk nongkorng dan kongko-kongko seenaknya.

Beberapa pedagang mendoan sedang melayani pembelinya. Mereka adalah penghuni tetap disana. Beberapa penjual minuman dan kopi juga ada. Deretan mobil-mobil yang diparkir sudah mulai ramai. Dentuman house music dari dudut Senanya membuahkan suasana hingar bingar. Ring road sudah mulai nampak menggeliat. Beberapa perempuan cantik sudah berteriak-teriak mengajak yang lain untuk ikut aerobic. Olahraga gratis yang sangat diminati kaum perempuan disini. Meski kadang ada beberapa lelaki macho juga ikut meramaikan.

Reafa memandang kesekitar. Matanya menyapu semua tempat disana. Mencoba mengenali teman-temannya dikeremangan malam dan lampu-lampu pintu tujuh yang “tidak manusiawi”.

Keraguan mulai membuncah dalam hatinya. Rasanaya ia ingin pulang saja. Ingin meninggalkan tempat ini tanpa bertemu dengan mereka. Pikirannya selalu bertanya, celaan apa lagi yang akan dia teriam hari ini. Dia duduk dipinggir ring road.

***
“ Gua Reafa,” katanya singkat memperkenalkan nama.
“ Oh..ini yang namanya Reafa. Ya, ampun. Baru sekarang yah bisa ketemuan. Apa kabar?”

Seorang perempuan berbaju biru terus saja nyerocos. Memang, mereka lebih akrab didunia maya, karena intensitas yang perbincangan yang cukup sering di Millist auat chat YM. Reafa menebarkan senyum dan menyalami setiap orang yang ada disana. Mereka bergantian menyebutkan nama. Meski tahu, ia akan lupa, ia hanya ber “oo-oo” saja. Atau mengulang nama mereka sedapatnya. Pura-pura menghapal satu-satu. Tapi percuma saja. Yang menyebutkan nama sudah lebih dari lima belas. Bagaimana ia bisa menghapal segitu banyak nama dalam waktu beberapa detik. Otaknya berpikir keras.

Sebagai orang baru dikomunitas, dan dipercaya menjadi salah seorang panitia, dia harus bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Jika tidak, bagaimana bisa ia berkoordinasi dengan seksi yang lainnya. Untunglah ada beberapa yang dia kenal. Jadi ia tidak merasa sangat terasing. Meskipun belum akrab betul, tapi minimal mereka pernah berinteraksi dengan dirinya lebih dulu, hingga perasaan canggung akan lebih mudah mencair.

Acara malam itu diisi dengan paparan tentang kegiatan yang akan dilaksanakan. Intinnya dalah berkemah bersama disatu daerah di Bogor. Acaranya sendiri masih beberpa bulan. Tapi persiapan sudah harus diatur sedemikian rupa, sehingga nantinya tidak ada yang merasa dikecewakan. Atau merasa rugi dengan kegiatan tersebut. Hebat, pikirnya. Semuanya begitu detail dan terinci. Semuanya nampak sempurna. Batinnya. Dan itu pula yang membuat keinginannya untuk cepat-cepat pulang menjadi tertunda. Ia ingin mengenal mereka lebih jauh. Akhirnya Reafa memutuskan untuk bergabung dengan mereka, untuk sekedar ngobrol.

Celoteh-celoteh akrab mulai keluar masuk telinga Reafa dengan santai. Tapi kenapa kemudian dia yang selalu jadi kambing hitam. Jadi bahan olok-olok, hingga semua yang ada terpingkal-pingkal. Dia hanya bisa tertawa dengan menyimpan dalam-dalam sebuah perasaan dalam dirinya. Menumpuk dan menggunung. Dengan tidak bisa dikeluarkan atau diluapkan. Dari sanalah Reafa kemudian berusaha mengubur perasaan itu. Mengubur keegoan dirinya untuk selalu diterima, tapi menganggat tingi-tinggi toleransinya untuk bisa menerima. Ia belajar banyak dari peristiwa malam itu. Bahkan, sampai suatu ketika julukannya berubahpun, dia tenang saja. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan semuanya.
***
Hentakan muskik keras membuyarkan lamunannya. Matanya terus mencari-cari dimana teman-temannya berada. Hingga ia melihat dikejauhan seorang peremuan melambaikan tangannya. Reafa tersenyum. Dilihatnya ada dua orang lagi sudah duduk disana. Mereka nampaknya sedang asik sekali bercakap-cakap.

Salam hangat langsung menggema dari semua orang. Menanyakan kabar, naik apa, sudah makan belum, dan perkataan basa-basi lainnya. Tapi bersamaan dengan itu semua, tangannya sudah mulai bergerilya menyabar sepotong mendoan dan sebotol air mineral. Tawa canda mereka terdengar lepas. Bulan sehabisa hujan menyaksikan keakraban mereka. Hingga larut malam.

“ Mas Bongkeng kemana sih, dah hampr jam sepuluh belom dating, “ katanya.
“ Nggak tahu! Tadi sih ngomongnya mo kesini. Tapi dia ada urusan dulu katanya,” jawab yang lain.
“ Ah…tarohan. PAsti dia lagi beduaan sama perempuan. Makan atau nongkrong di cafee,” timpal yang lain.
“ Nggak mungkin. Paling masih di kantor. Dia kan gile kerja,”
“ Ah, bukannya dia gila perempuan juga?’ ujar Reafa yang disambut dengan tawa keras teman-temannya.
Sukurlah, hari ini aku tidak jadi bahan lagi, batinnya.

“Ya udah. Gua telpon lagi deh,” yang lain mencoba meyakinkan,” kalo emang dia nggak mao dating, kita pulang aja,” lanjutnya kemudian, seraya menekan tuts angka pada HPnya.

“ Nyambung?” tanya Reafa
“ He’eh,”

Kemudian hening.
“ Woy …! Kemana aja sih, nggak nongol-nongol? Katanya mo ke senayan. Ni anak-anak dah pada bulukan cuman nungguin lu doan. Dasar kampret gemblung! “
Suara itu membahana seakan memecah keheningan malam pintu tujuh. Semuanya kaget. Disangka ada insiden bom.
“ Awas kalo sampe nggak. Kita dah nunguin ampe belumut, lu enak enak pacaran. Cepet!” lanjutnya.
“ Apa?”
“ Nggak kedengeran! Apa,”
“ Halo…haloo! … Tuttt“
Telepon terputus.

“ Gimana? “
“ Iya dia dating!”

Reafa membetulkan duduknya. Mencoba memahami apa yang terjadi. Bagimana mungkin dia bisa terjebak dalam komunitas ini. Komunitas orang gila yang senang sekali jalan. Terjebak? Bukankah dia juga menikmati itu. Menikmati dicela. Menikmati keluyuran malam. Meski sampai rumah haru hampir pagi atau kas yang kebobolan setiap bulan.

Ah..pasti semua akan ada hikmahnya. Kini hanya harus menunggu seorang lagi datang. Artinya. Jatah tidurnya malam ini akan berkurang beberapa jam lagi.

**

Saturday, October 29, 2005

Cerpen - Bongkeng dan Sebuah Motor bernama Angelina Joulie

Kisah Keluargaku
Bongkeng dan Sebuah Motor bernama Angelina Joulie
Oleh : Boim Akar

Bongkeng menyulut rokok mentholnya. Menghirupnya dalam-dalam. Kemudian menghempaskan asapnya. Karbon putih itu memecah diudara sore yang lembab. Hari baru saja hujan. Jalanan menyisakan genangan air kecoklatan yang memenuhi sebagian badan jalan. Lalu lalang kendaraan melambat seperti kehilangan irama.

Ia melirik jam tangannya. Jam lima lewat lima belas menit. Artinya sudah lebih dua jam hujan mengguyur hari ini. Sialan. Dia hanya bisa menggerutu. Jas hujan yang biasa mengisi bagasi dibawah joknya lupa dia masukkan tadi pagi. Hanya ada jaket yang tidak kedap air. Jika nekat menerobos, itu artinya ia harus siap-siap dana lebih bulan ini untuk ke dokter.

Hush!
Asap putih kembali memenuhi udara. Kemudian pecah dan berbaur bersama kelembaban udara sore. Hujan masih belum berhenti, padahal hari ini ia ada janji dengan salah seorang klientnya yang berjanji memberikan THR bulan ini. Lumayan. Menjelang lebaran.

“ Blum pulang, pak? “
Seorang wanita cantik lewat didepannya. Pegawai kantornya. Ia tersenyum.
“ Hujan,” jawabnya singkat.
“ Gimana sih, ditanya apa, jawabnya apa. Nggak nyambung! Mestinya kan jawabnya, sudah atau belum. Saya juga tahu di luar hujan,”

Gubraks.
Sialan nih orang. Gerutu hatinya. Gua dah jawab baik-baik, eh malah ngeledek. Bongkeng menggaruk rambut ikalnya sembarangan. Ia tersenyum.
“ Bener juga yah. Gua aja yang salah tangkep. Gua yang bego apa dia yang pinter, yah,” gerutu batinnya.
“ Dasar karyawan sableng. Besok kalo jaringan internetnya gua putus kayak tempo hari, baru pada nangis Bombay, lu! Pada macem macem sih ama gua. Tapi si Yani cakep juga yah hari ini. Gua baru sadar, “ batin kucing nya mulai menggerutu.
Detik berganti. Tapi tanda-tanda hujan akan berhenti belum juga nampak. Bayangan kelam masih menggantung dilangit. Petir masih menggelegar dengan hebatnya, seoalah ingin unjuk gigi didepannya. Berkali-kali Bongkeng merubah posisinya karena kilatan cahaya petir diangkasa mirip dengan lampu blits foto. Lumayan, pikirnya. Dapet poto gratis buat akherat. Jadi nggak usah di poto lagi nanti.

Tanpa basa-basi, ia melangkah cepat ke arah parkir motornya. Deretan motor-motor dibiarkan basah oleh pemilknya. Dalam hitungan detik, Angelina Joulie, motor kesayangannya, yang merupakan istri keduanya ia temui. Diusapnya beberpa kali joknya yang basah.

“ Ih…si Boss genit ah, pake usap-usap segala. Geli kan boss,” ucap Angel, nama kesayangan Angelina.
“ Lah, kalo nggak diusap lu sika manyun, kalo diusap lu geli.”
“ Iya, tapi ngusapnya jangan pake nafsu gitu dong boss, Angel kan jadi takut.”
“ Takut apa? Takut nggak kebagian kali lu,”
“ Ah, si Boss, bisa aja.”

Keakraban mereka berdua, sempat membuat pacar Bongkeng marah-marah. Bagaimana tidak, waktu ulang tahun pacarnya Bongkeng cuma memberikan tiket dufan terusan untuk berdua. Satu tiket dua orang. Itu juga karena dia mendapatkan door price dari sebuah majalah rekreasi. Tepatnya sih, hadiah nggak niat. Tapi waktu Angelina Joulie, ulang tahun, atau tanggal pembeliannya, dia langsung Tune Up, Ganti Velg racing, ganti jok. Pokoknya Angelina seperti Monica Belluci yang seksi abis. Sampai-sampai semua mata yang menyaksikan keakraban mereka iri dibuatnya.

Angelina melesat seperti bayangan. Membelah udara dan menyisakan sebaran air yang menciprat dari gilasan roda-rodanya. Bongkeng menarik gas sekuat-kuatnya. Rasanya, hari ini, ia sedang beradu cepat dengan Valentino Rossi dan Marco Melandri. Tikungan demi tikungan dilewati tanpa sedikitpun menginjak pedal rem. Say no to break. Cuma itu yang ada dalam otaknya. Ia melesat, semakin jauh meninggalkan dua lawannya. Melesate melewati jajaran kursi-kursi penonton yang meneriakkan namanya. Mengibarkan bendera merah putih dan bendera kotak-kotak putih hitam seperti papan catur. Membayangkan sebuah tropy akan di angkatnya tinggi-tinggi, menandakan dialah juara sejati dalam pertandingan hari ini.
Hingga tanpa sengaja ia mengangkat kedua tangannya, layaknya seorang juara.

“ Boss, awas ada truk!” Angelina menjerit keras-keras. Bongkeng tersadar.
Astagfirullah. Hatinya ketar-ketir.
“ Bos, kalo mao ketemu malaikat ijroil, jangan ngajak-ngajak dong! Sendiri aja. Nggak tahu apa, velg saya masih baru. Untung bisa ngeles, coba kalo nggak. Bisa jadi dendeng buat lebaran kita,” ocehnya.
“ Aduh…! Bawel! Yang pentingkan kita nggak pa-pa. Udah konsentrasi lagi, kita masih jauh nih. Lagian kamu juga nggak hati-hati. Udah tahu ada truk kenapa nyelonong aja, berhenti dulu kek, ngerem kek, tekek kek! “ Bongkeng ngeles.
“ Uh..kalo begini aja, Angel yang disalahin. Yang pegang stang kan situ boss. Bukan gua!” timpalnya sengit,”kalo gini, gua nggak mao jalan. Gua mo mogok aja. Mogok.”ancamnya kemudian.
“ Dasar perempuan, banyak maonya,”
“ Biarin!”

Dan benar saja. Setelah mengucapkan itu, Angelina tidak mau diajak ngebut. Meski sudah ditarik gas sedalam-dalamnya, ia hanya berlari empatpuluh kilometer perjam saja. Padahal Bongkeng sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik gas.

Jadilah dia harus merayu pacar keduanya. Dengan berbagai rayuan maut yang dilancarkan melebihi gencarnya roket milisi Irak untuk pasukan perdamaian pimpinan Amerika. Dengan janji-janji manis, bahwa ia akan dibelikan bensin paling mahal, akan diganti rantainya yang sudah mulai kendor, bahkan jani makan di restoran jepang segala. Wah, Angelina melompat-lompat kegirangan mendengar janji yang terakhir. Jadilah sekarang Bongkeng yang kewalahan mengendalikan keliaran dan kenakalan kekasih pujaan hatinya ini. Dia hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Takut kejadian tempo hari, ketika Angel marah dan melemparkan nya ke selokan depan komplek. Wah, bisa gawat kalo sampai dilempar ke jalan tol, pikirnya.

Lampu-lampu jalan mulai menyala. Azan magrib berkumadang dari kejauhan. Entah dimana. Jakarta memang menyajikan gedung-gedung tinggi mencakar langit, pusat-pusat perbelanjaan modern, tapi sangat jarang menyajikan masjid-masid yang megah. Sangat berbeda dengan kondisi dinegara tetangga, Malaysia. Dimana pada setiap blok jalan, akan bisa ditemui masjid-masjid yang megah dan ramai.

Setengah jam kemudian, Bongkeng membelokkan motornya memasuki pelataran parkir sebuah pusat perbelanjaan.

“ Kamu, tunggu disini ya, sayang. Gua nggak lama kok. Paling juga dua jam,” Bongkeng menggumam.
“ Oke, boss! Hati-hati, yah. Inget kalo dicium jangan mao,” Angel mengingatkan.
“ Loh, apa hubungannya?”
“ Nggak. Kasihan aja yang nyium. Soalnya lu kan belom mandi dari kemaren, boss!”
Gubraks!
“ Dasar jahil. Jadi selama ini lu liat gua mandi?”
“ Dikit!”

Bongkeng melangkah dengan muka merah. Sementara Angel tertawa cekikikan. Sehingga beberapa Satria dan Shogun yang di parkir didekatnya ngomel-ngomel, karena merasa terganggu.

“ Woy, banci. Berisik banget sih, baru datung juga,” Ninja Biru menyalak dengan ganasnya.
“ Tahu nih. Baru dating bukannya Asalamulaikum, malah cekikikan. Nggak tahu apa gua lagi istirahat.” tambah Shogun.
“ Iya nih,” timpal yang lain

Dan jadilah areal parkir itu ramai dengan suara dengungan-dengungan caci maki yang tertahan kepada Angelina.
“ Eh, bapak-bapak. Catet ye! Gua ini bukan banci. Gua perempuan tulen. Udah ada sertifikat nya dari MPI, alias Majelis Permotoran Indonesia. Nggak usah pada minder gitu dong, kalo gua lebih seksi dari lu semuanya,” jawab Angelina santai.

Jadilah suara-suara makin gaduh. Tapi Angelina sudah bermimpi, berkejaran berdua dengan Bongkeng di alun-alun surya kencara yang selama ini hanya ia bisa dengar,atau mencuri dengar tepatnya, dari majikannya, atau pacarnya, atau selingkuhannya, atau teman-teman boss nya, yang selalu bercerita tentang tempat sangat menakjubkan itu. Lapangan sangat luas dengan aliran sungai kecil di tengahnya. Padang rumput yang selalu berbau wangi. Dan kuntum-kumtum edelweiss yang selalu memanjakan mata, kemanapun memandang. Birunya langit dengan gumpalan-gumpalan awan maha putih. Atau matahari terbenam yang menyajikan pemandangan spektakuler tanpa tanding.

Hanya ada dia berdua. Berlari berkejaran ditemani suara angina yang menderu diantara pinus dan cantigi.

Bongkeng melangkah cepat. Seakan diburu waktu. Sudah setengah jam lebih ia terlambat. Padahal yang akan ditemuinya adalah seorang kient besar. Seorang perempuan pula. Untunglah, otak ngeres nya sudah ditaruh dalam laci meja kerjanya sebelum berangkat tadi. Jika tidak, wuih, bisa jadi ia langsung booking hotel di Blok M. Untunglah.

Suasana kafe tempat pertemuan mereka sudah sangat ramai. Bongkeng menyapu pandangannya kesetiap sudut ruangan yang ditata bergaya modern kontemporer, dengan sentuhan khas Bali.

Alunan musik lembut, menyambut Bongkeng masuk. Suasana yang romantis, pikirnya. Ia melangkah memasuki ruangan tengah. Diambilnya Handphone mungil dari balik bajunya. Tangannya menari menekan tombol-tombol yang ada disana. Sebuah nomor tersambung dan, Call..
“ Hallo,”
“ Kamu dimana? Oh, iya iya. Saya tahu. Saya sudah didalam kok.”
“ He’eh. Iya saya lihat.”
“ Yang pakai baju pink yah?”
“ Dipojok?”
“ Oh…ya..ya…!”
“ Oke!”

Telepon terputus. Belum lagi Bongkeng memasukan HP nya ketempat semula, seraut wajah menoleh kebelakang. Seraya melambaikan tangan. Bongkeng membalas dengan senyum mautnya.

Wih, cakep juga nih orang, pikirnya. Sayang, tugas kantor. Kalo nggak dah gua sikat deh. Hatinya mengerutu.

“ Mas Bongkeng, yah? Saya Weny,” si gadis menyapa.
“ Bongkeng,” katanya seraya mengulurkan tangannya. Senyumnya mengembang.
Weny tersenyum. Manis. Melebihi kurma masak dari Irak. Rambut lurusnya terurai lepas hingga ke punggung. Nampaknya, rambut ini konsumsi salon-salon mahal di Jakarta. Matanya sendu. Kulitnya kuning langsat, khas orang jawa. Bibirnya yang berwarna merah jambu, membingkai gigi-giginya yang putih. Perpaduan yang menghasilkan kesempurnaan senyum. Meski begitu, ia jauh dari kesan perempuan nakal. Intelek malah. Dan ini yang Bongkeng suka. Perempuan seperti ini, sulit di tebak, begitu pikirnya.

Untung si Angelina nggak liat, coba kalo ada. Bisa nagis Bombay terus minta diajak kesalon dia. Kalah cakep. Kalah seksi. Wah, pokoknya lewat aja. Tewas. Batinnya.

Setelah memesan makan dan minum, mereka berbicara formal membicarakan bisnis. Dari mulai pembelian, sampai bonus yang akan diteriman Bongkeng. Untuk iming-iming, dia diberikan sebuah kamera digital canggih. Katanya, ini Cuma hadiah. Padahal, Bongkeng tahu, ada sejuta trik yang akan dilakukan seorang marketing untuk bisa menggaet pasar. Meski harus berkorban. Tapi, Bongkeng tidak menolak tentunya. Ini rejeki, katanya.

Obrolan berlangsung kemudian dengan santai. Wenny, nampak sangat menikmati obrolan hari itu. Banyolan-banyolan segar keluar dari mulut Bongkeng dengan manisnya. Membuat beberpa kali Wenny terpaksa ke kamar kecil. Entah muntah atau kebelet buang bair kecil. Entahlah. Hanya Wenny dan Tuhan yang tahu.

Malam merangkak naik. Bulan sabit memancarkan sinarnya yang redup. Beradu terang dengan cahya kelap-kelip lampu-lampu jalan. Tanpa terasa mereka sudah menghabiskan waktu tiga jam disana. Dari obrolan bisnis, sampai hoby dan kehidupan pribadi. Dari keluarga, sampai harga minyak tanah dan cabe merah yang sekarang naik. Semuanya dibahas.

“ Oke, mas. Terima kasih atas bantuannya. Saya sangat menikamati malam ini, “
“ Saya juga. Terima kasih untuk traktirannya malam ini,”
Wenny hanya tersenyum.
“ Sampai ketemu,”
“ Bye”

Bongkeng menatap Wenny yang masuk ke mobilnya. Sengaja ia menunggu hingga mobil itu keluar areal parkir. Deru mesin menghasilkan karbon panas keluar. Udara dingin. Hujan sudah berhenti dari tadi.

Lambaian tangan dan senyum manis Wenny di jawab serupa oleh Bongkeng. Hatinya gembira. Malam ini, ia merasa sangat bahagia. Ternyata tugas kantor yang disangkanya akan bertemu cukong Tionghoa yang kadang membosankan, berubah menjadi sebuah date. Blind date. Hatinya bernyanyi riang.

Ringtone Sinchan pholiphonik dari HP mungilnya meraung. Sebuah nomor yang tidak asing lagi tertera di layer warna handphonenya.
“ Woy …! Kemana aja sih, nggak nongol-nongol? Katanya mo ke senayan. Ni anak-anak dah pada bulukan cuman nungguin lu doan. Dasar kampret gemblung! “
Seorang perempuan mencaci maki disebrang sana. Bongkeng melongo. Di hantamkanya telapak tangan di jidanya.

Mati gua. Hari ini ada janji sama anak-anak Kamprets di Senayan. Mampus gua di cincang ma si biang Kamprets.

Angelinaaaaaaa……………..berangkaaaaattttt!

Tamat

Cerpen- Ariel, Biarkan Kereta Itu....

Ariel,
Biarkan Kereta Itu Berlalu

Sudah lebih dari satu jam Ariel duduk di sana. Deretan kursi panjang yang terbuat dari besi, yang mungkin umurnya sama dengan dirinya. Berbaur diantara lalu-lalang penumpang dan kesibukan luar biasa menjelang lebaran tahun ini. Separuh masyarakat Jakarta yang memang kaum urban, memang akan menempuh berbagai cara untuk dapat mencurahkan rindu kepada keluarga dan sanak famili di kampung halaman. Setahun sekali mencurahkan segala kebahagian untuk berumpul dan sekedar berbagi dengan keluarga. Meski mereka harus membanting tulang bekerja keras dalam sebelas bulan sebelumnya, tapi tak ada yang lebih menggembirakan daripada pulang kampung.

Ariel menghela nafas panjang. Kemudian berdiri sekedar melemaskan otot-otot punggungnya yang terasa mulai kaku. Diletakkan nya majalah yang dia beli hanya untuk mengusir rasa isengnya karena menunggu. Sifat konsumtif. Yah, membeli sesuatu yang tidak perlu hanya untuk kesenangan sesaat. Berkali-kali badannya yang jangkung tersambar lalu-lalang orang yang hilir-mudik. Entah tas mereka, entah pula tertabrak. Dan dia hanya bisa menghela naas panjang. Deretan kursi-kursi masih dipenuhi para penumpang. Kesibukan luarbiasa yang membuat perutnya sedikit mual.

Untuk kesekian kali, dihempaskan pantatnya pada bantalan kursi keras di stasiun. Matanya masih tidak lepas dari memandang deretan pedagang-pedagang yang menghabiskan separoh dari jumlah peron untuk menjajakan dagangannya. Ingatannya menerawang jauh. Mengingat pertama kali dia datang ke kota ini. Ibunya mengantarkannya sampai stasiun Jatinegara. Yah, disini. Dikursi yang sekarang diduduki ini, duapuluh tahun yang lalu ia diantar ibunya menginjakkan kaki pertama kali ke Jakarta. Mengadu peruntungan dan menimba ilmu di kota yang kata orang, penuh dengan cahaya gemerlap kesuksesan. Meski hari ini, ia mengecap semuanya, tapi ternyata separuh masa hidupnya masih selalu membuat dia bertanya. Kehidupan dan jabatan yang dianugrahkan kepadanya lebih dari cukup. Manager Akunting sebuah perusahan jasa multi nasional. Sebuah jabatan yang sangat prestise. Bergengsi dan pastinya diidam-idamkan sebagian orang didunia ini. Namun ada selalu secarik gundah mendera hidupnya yang mapan.

“ Hati-hati di Jakarta, Riel. Pandai-pandailah kamu menjaga diri. Jangan lupa shalat, belajar yang tekun dan jangan lupa kabari ibu,”
Ariel menggandeng lengan Ibunya yang sudah mulai menua, mendengarkan setiap petuah dan wasiat yang kelak akan selalu memotivasinya melangkah lebih maju.
“ Iya, Bu. Ibu juga doakan Ariel, supaya bisa berhasil di Jakarta,” timpalnya.

Ibunya membelai rambut Ariel dengan mesra. Kemudian mereka duduk dikursi tunggu stasiun Senen. Ibu menatap anaknya dengan perasaan haru. Diusianya yang baru enambelas tahun, ia harus merantau ke Jakarta mengadu nasib dan peruntungan.

“ Ini alamat seorang kenalan ibu. Kamu carilah, “ ucapnya kemudian seraya mengeluarkan secarik kertas usang, “ jangan lupa, sampaikan surat ini juga ke pada beliau, bilang kamu anak ku, mudah-mudahan meraka mau membantumu,” lanjutnya.
Ibu memandang Ariel dengan lembut, air matanya menetes. Tangannya tak henti-henti meremas rambut hitam Ariel. Ini adalah perpisahan yang berat. Ariel merasakan emosinya meledak, membumbung keangkasa untuk kemudian tumpah membuncah kedasar bumi. Amblas. Tak ada sepatah katapun mampu keluar dari mulutnya. Emosinya diaduk-aduk. Tapi sebagai lelaki, pantang baginya menangis di usia enam belas.

Pada hari yang sama pula, Ibunya kembali pulang ke Surabaya. Setelah meninggalkan bekal uang dan segala sesuatunya. Ariel duduk termenung sampai larut malam hari itu. Membayangkan ibunya yang sudah merangkak senja berjuang sendirian diatas kereta ekonomi dari Jakarta ke Surabaya. Air matanya menetes.

Areil melangkah perlahan. Desau angin malam itu membelai wajah kumalnya yang belum tersentuh air dari kemarin. Langkahnya teratur saru-satu, seolah menghitung jumlah balok-balok ubin yang berwarna kelam. Sekelam hatinya yang selalu gundah mengenang ibunya. Terlintas lagi wajah ayah yang sudah setahun lalu berjuang keluar negeri, menjadi TKI dan kemudian harus dihukum gantung, karena dianggap sebagai pekerja gelap. Anak beranak itu hanya bisa menangis dalam gubuk kecil mereka tanpa tahu harus kemana mengadu. Dan jasad nya pun, sampai saat ini entah dimana berada, karena janji pemerintah yang akan memulangkan jenasah ayahnya, toh sampai setahun ini tidak pernah terlaksana. Akhirnya mereka hanya bisa pasrah. Mungkin keterbatasan ekonomi dan yang lainnya. Birokrasi, sialan. Cuma itu yang bisa di ucapkan Ariel waktu itu, disela isakan ibunya.

Remang lampu-lampu jalan malam itu diterobosnya. Debu-debu yang tergilas ban mobil yang berlalu-lalang di jalan itu menyisakan udara sesak yang terpaksa harus hinggap menjadi bahan tumor di paru-paru. Belum lagi polusi asap dari knalpot kendaraan yang menyisakan karbon hitam, yang konon membuat lapisan ozon semakin tipis. Berkali-kali Ariel menutup hidungnya. Wajahnya sudah penuh berminyak. Dia meneruskan langkahnya mencari alamat yang tertera di kertas pemberian Ibunya. Cipinang. Cuma itu yang dia bisa tangkap. Dengan keberanian dan keinginan yang besar, langkah-langkahnya terpacu kesana. Meski lapar yang sudah sejak tadi mengaduk-aduk isi perutnya, tapi semuanya disingkirkan. Sebotol air mineral pemberian ibunya masih setengah. Diteguknya sedikit, untuk sekedar menyejukkan dahaganya. Meski harus terus berbohong kepada perutnya. Nanti jika ia sudah sampai di rumah kenalan ibu, ia akan di beri makan dan akan bisa mandi sehingga pusa. Seperti yang biasa ia lakukan di kota asalnya.

Lewat tengah malam, alamat yang dicari berhasil dia temukan. Nama pemilik rumah pun masih sama. Tapi ternyata angan-angannya. Setelah membaca surat ibunya, si pemilik rumah mengatakan ia tidak bisa menampung Ariel di rumahnya. Karena ini juga rumah kontrakan, dan anak-anaknya juga banyak. Jadi tidak ada ruangan kosong buat dirinya. Kemudian si pemilik rumah kenalan ibu, menunjukan satu alamat dimana ada kontrakan kosong.

Betapa remuk hatinya. Pupus sudah harapan untuk bisa tidur malam ini dengan nyaman. Karena tidak tahu apa-apa di Jakarta, Ariel memutuskan untuk kembali ke Jatinegara. Pikirnya, dia akan pulang saja ke Surabaya dari pada hidup menggelandang disini. Alunan musik keras membahana dari kios penjual kaset-kaset bajakan. Sebuah lagu sahdu Ebiet G Ade, Ayah maafkan Anakmu. Ah..Ingat rasanya ia selalu dinyanyikan lagu ini oleh ayahnya. Ariel duduk di kursi perpisahan dengan ibunya. Menyandarkan seluruh penat yang berkecamuk. Melepaskan sepatunya dan mencba memejamkan mata. Tapi pikirannya melayang, entah kemana. Hatinya gundah. Batinnya gulana.

Dimana ibu sekarang, batinya. Apakah ibu selamat sampai Surabaya, atau..!
Ah.
Dikibaskan tangannya didepan wajah kumalnya. Seolah menepis gundah hatinya yang selalu bergemuruh. Sekarang, ia hanya ingin tidur. Melenakan dirinya sejenak untuk bisa berfikir jernih hari ini.

Ariel membuka matanya perlahan. Menikmati udara pagi yang sama sekali tidak sejuk. Tapi toh disini dirasanya lebih bersahabar ketimbang Surabaya kota kelahirannya. Matanya menangkap beberapa orang yang sama dengannya. Tidur dipinggiran peron atau meringkuk di kursi-kursi tunggu penumpang. Meski matahari sudah sepenggal galah, tapi mereka masih dibuai mimpi indah akan Jakarta. SAma dengan mimpinya barusan. Hey, ia baru sadar kalau ia tertidur barusan. Meski mungkin hanya sekejap. Perutnya menagih minta diisi. Di pegang perutnya. Kali ini, ia tidak sanggup lagi berbohong, bahwa ia lapar. Ariel baru ingat bahwa dua hari yang lalu, ia makan bersama ibunya dimeja makan mereka. Di Surabaya. Dan sejak itu, tak ada sesuap nasipun masuk ke perutnya.

“ Permisi mas, “
Sebuah suara membuyarkan lamunan Ariel. Sesosok perempuan setengah tua berdiri didepannya. Menggendong anaknya. Mereka sama-sama lusuh.
“ Tolong, mas. Kami belum makan dari kemarin. Tolong, mas.”

Ariel meringis. Ditatapnya anak-beranak itu lekat-lekat. Ia ingat ibunya. Dimana beliau sekarang, batinnya. Ah..tapi hari ini bukankah ia sedang menunggu kedatangan orang yang paling disayanginya. Meski hatinya selalu mengutuk, kenapa bukan ia saja yang pulang ke Surabaya. Kenapa justru ibunya yang renta dia biarkan berkelana sendirian dengan kereta api. Meski semua kebutuhan hidup ibunya sudah ia kirimkan lewat transfer bank. Toh, ia masih belum bisa mengerti, kenapa egonya masih menginggi di usia nya yang sudah tidak muda lagi.

“ Mas! Tolong mas. Kami belum makan,” si perempuan mengulangi ucapannya.

Ariel tersentak. Dia merogoh saku celananya. Dikeluarkannya selembar lima puluh ribuan dari sana, dan diberikan kepada pengemis perempuan itu. Ariel kemudian mengajak keduanya duduk dan bercakap. Betapa hatinya semakin ingat ibunya, ketika tahu ternyata mereka berasal dari tempat yang sama. Ariel mendengarkan setiap ucapan si ibu dengan seksama. Betapa mereka berdua tidak mempunyai siapa-siapa semenjak suaminya pergi meninggalkannya, entah kemana. Ah, perih nian. Untuk akhirnya ia memutuskan berangkat ke Jakarta untuk mengadu nasib. Yah, mengadu nasib sama dengan ku, batin Ariel. Bedanya, aku menelantarkan ibuku.

Ariel menarik nafas panjang. Melepaskan langkah anak beranak itu dengan ekor matanya, sampai menghilang di balik kedai makan sebuah warung di stasiun.

Dia melirik jam tangannya. Tiga jam berlalu sudah. Tapi kereta yang membawa ibunya belum juga datang. Atau mungkin terlambat. Ah, bukankah keterlambatan kereta api itu adalah sebuah hal yang biasa di sini. Jadi tidak ada yang pasti. Apalagi untuk kelas angkutan rakyat semodel kereta api.

Serangkaian gerbang kereta memasuki peron. Suasana hingar bingar bertambah parah. Kesibukan luar biasa. Kuli-kuli angkut berlarian menuju pintu-pintu kereta yang memang terbuka. Dan tidakpernah tertutup. Ariel bergegas mengikuti kerumunan orang. Matanya mencari-cari sosok ibu yang sudah lebih lima belas tahun ia tinggalkan. Yah, lima belas tahun yang hanya dia sapa lewt surat-suratnya. Yang sekian lama itu harus melewati kesendirian dalam menjalani hari tuanya.

Menit berlalu. Tapi, sosok itu takjuga tertangkap matanya. Hatinya mulai resah. Apakah ibunya tidak datang hari ini. Atau memang ada hal. Atau….

Seribu pertanyaan berkecamuk dalam dada Ariel.

“ Ariel!”
Seseorang memanggil namanya. Darimana orang itu tahu namaku,pikirnya.
“ Saya Mulyono. Pamanmu. Adik ayahmu. Ibumu yang menyuruh saya kesini, “ lanjutnya tanpa memperdulikan Ariel yang masih tidak mengerti. Seingatnya, ibu tidak pernah bercerita tentang saudara dari almarhum ayahnya. Bagaimana ia bisa percaya begitu saja.
Seperti mengerti, lelaki itu mengeluarkan foto Ariel dari dalam tasnya. Foto yang dikirimkan kepada ibunya beberapa bulan yang lalu. Bagaimana bisa ada bersamanya, batin Ariel.

Lelaki itu mengapit tangan Ariel keluar. Dan berdua mereka bergegas menuju mobil Ariel yang diparkir diluar.

“ Ibu kemana, Paman? Kenapa beliau tidak datang. Apa ibu sakit?”
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Ariel kepada pamannya membuat ia semakin yakin, bahwa ada apa-apa dengan ibunya.
“ Ariel, maafkan paman. Sengaja semua peristiwa ini paman rahasiakan. Ini adalah kesepakatan dari semua keluarga, termasuk ibumu. Ketika beliau mengantar mu ke Jakarta lima belas tahun yang lalu, kami semua sudah sepakat, untuk menjemputmu pulang. Berapa usiamu sekarang?”
“ Tiga puluh satu, paman.”
“ Sudah menikah?”
Ariel menggeleng.
Pamannya menarik nafas dalam.

“ Ariel,” lanjutnya, “ sepulang dari Jakarta, Ibumu jatuh sakit. Tapi dia tidak mau membebani perasaannu. Jadi ia menitipkan pesan kepada kami semua, agar tidak memberitahukan kepada mu. Dan jangan menjemputmu.
“ Lalu? Bagaimana ibu sekarang?”

Mulyono menghela nafasnya. Membetulkan letak duduknya. Menatap jauh kedepan. Kearah jalan didepannya yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan.

“ Ibumu, sakit berhari-hari. Dan…” Mulyono tercekat.
Ariel menoleh. Melihat perubahan pada wajah pamannya.
“ Ibumu tidak bisa tertolong!”
Ariel terbelalak. Dipinggirkan mobilnya. Ia menangis.
“ Maafkan paman. Ini amanat dari ibumu. Itulah sebabnya selama ini kami tidak pernah menyuratimu.” lanjutnya.

Mulyono bercerita sepanjang perjalanan. Ariel baru tahu kalu ibunya sengaja menitipkan nya kepada kenalannya di Jakarta, meski Ariel terusir dan harus mengontrak sebuah petak kemudian. Berjualan koran untuk makan dan keperluan sekolahnya. Ibunya menginginkan Ariel menjadi orang mandiri dan sukses, Jika ia terus di Surabya, pastinya ia tidak akan maju. Ibunya tahu, betapa ia akan melakukan apa saja buat ibunya, bukan untuk sekolahnya. Hingga akhir hayatnya, ibunya selalu berharap agar Ariel baik-baik saja. Betapa ibunya selalu menghrap Ariel menjadi orang sukses dan bisa dibanggakan.

Jejeran kursi tunggu penumpang di stasiun Jatinegara masih sama persis dengan minggu kemarin. Ketika ia menjemput ibunya, tapi kemudian berubah cerita. Seminggu kini sudah. Sekembalinya dia dari Surabaya sore hari itu, untuk berziarah kemakam ibunya, ia menangis sekerasnya. Menyesali semuanya yang terlambat.
Selembar kertas yang dia terima dari pamannya, dibukanya. Sebuah surat. Matanya meremang.
Ibunya bertanya, apa dia sudah punya cucu, sekarang.
Ariel gamang. Seperti ada ribuan ton beban menghantam kepalanya saat ini. Diusainya yang sudah tidak muda, ia masih melajang. Menikmati gemerlap kehidupan Jakarta. Seakan lupa kepada kodrat yang dititahkan Tuhan kepadanya. Bukan tidak mampu. Entah, dia menggeleng. Ariel juga sudah lupa sudah sejak kapan dia tidak lagi sholat.

Ariel, biarkan kereta itu lewat. Masih ada gerbong yang akan membawa mu kesana, batinnya.
Ariel diam. Menatap lantai stasiun.
Kosong.

Boim Akar
28 Oktober 2005

Wednesday, October 05, 2005

Nyanyian para petulang
di tanah tanah paling tinggi
hingga ke lembah terdalam
sepanjang jalan setapak berbatu

Lagu kebebasan
yang terus akan dinyanyikan
hingga bintang timur menyapa
dengan senyum manisnya

Lukisan keabadian
dan getaran jiwa bebas membahana
dikerimbunan puncak pinus dan uap belerang
kawah mati tak bergeming

hati siapa menangis
hati siapa berduka
dan lagu ini mengalun indah
bersama manisnya kopi susu
dan segenggam gula-gula

Tuesday, October 04, 2005

Lepas

Bongkahan keyakinan
yang terserah sepanjang jalur mati
ku kumpulkan satu-satu

Di Cibodas
di Jeram Cibeureum
ada satu di watu kukus dan kawah denok
hingga air panas dan Kadang Badak

Dan kurapal
sebagai doa penghabisan malam ini
bersama mentari yang menyinari pucuk cantigi
lepas